Mereka menjawab: “Apa yang membuat kamu mengira bahwa kami adalah lemah, wahai Abu Hurairah?!”
Ia menjawab: “Harta warisan Rasulullah Saw sedang dibagikan sedangkan kalian masih saja berada di sini!! Apakah kalian tidak mau pergi ke sana dan mengambil jatah kalian?!”
Mereka bertanya: “Dimana Beliau sekarang, wahai Abu Hurairah?!” Ia menjawab: “Beliau berada di Masjid.”
Maka merekapun segera berlari terburu-buru. Sementara Abu Hurairah menunggu mereka sehingga mereka kembali. Begitu mereka melihat Abu Hurairah mereka berkata: “Wahai Abu Hurairah, kami sudah datang dan masuk ke dalam Masjid, akan tetapi kami tidak mendapati apapun dibagikan di sana.”
Abu Hurairah bertanya kepada mereka: “Apakah kalian tidak mendapati seorangpun berada di Masjid?!” Mereka menjawab: “Tentu kami melihat ada orang yang sedang shalat. Beberapa orang sedang membaca Al Qur’an dan beberapa orang sedang mempelajari halal dan haram (ilmu fiqih).”
Abu Hurairah langsung berkata: “Celaka kalian, itulah harta warisan Rasulullah Saw!”
Karena kecintaannya terhadap ilmu dan majlis ilmu Rasulullah, Abu Hurairah pernah merasa amat lapar dan hidup menderita untuk mendapatkannya.
Ia menceritakan tentang dirinya sendiri: Jika aku sudah merasa amat lapar, aku akan bertanya kepada salah seorang sahabat Rasulullah Saw tentang sebuah ayat Al Qur’an –padahal aku sendiri telah mengetahuinya- agar ia mengajakku ke rumahnya dan memberi makan kepadaku.
Aku pernah merasa amat lapar sehingga aku mengganjal perutku dengan batu. Aku lalu duduk di jalan yang biasa di lalui oleh para sahabat. Lalu Abu Bakar mendapatiku dan aku bertanya kepadanya tentang sebuah ayat dalam Kitabullah. Aku tidak bertanya sesuatu kepadanya, kecuali agar ia mengundangku untuk datang ke rumahnya, namun ia tidak mengundangku.
Lalu lewatlah Umar bin Khattab, dan aku tanyakan kepadanya tentang sebuah ayat, dan ia juga tidak mengundangku ke rumahnya. Sehingga lewatlah Rasulullah Saw dan ia mengetahui bahwa aku lapar. Beliau bersabda: “Apakah engkau Abu Hurairah?” Aku menjawab: “Benar, ya Rasulullah!” Lalu aku mengikuti Beliau dan aku masuk ke rumah Beliau dan ia mendapati sebuah gelas berisikan susu. Beliau bertanya kepada keluarganya: “Dari mana kalian dapatkan susu ini?” Keluarganya menjawab: “Fulan mengirimkannya untukmu.” Rasul Saw lalu bersabda: “Ya Abu Hurairah, Pergilah engkau ke ahli suffah dan undanglah mereka semua!”
Aku merasa kesal karena Rasul Saw menyuruhku untuk mengundang mereka semua. Aku berujar dalam hati: “Apa yang diberikan oleh susu tersebut kepada Ahli Suffah?!”
Dan aku amat berharap aku mendapat seteguk air susu terlebih dahulu untuk menguatkan tubuhku, lalu kemudian aku berangkat untuk mengundang mereka.
Aku lalu mendatangi Ahli Suffah lalu mengundang mereka. Dan mereka pun datang semuanya. Begitu mereka sudah duduk di dalam rumah Rasulullah Saw, Beliau bersabda: “Ambillah ini, ya Abu Hurairah dan bagikanlah kepada mereka!” Maka aku memberikan bejana tersebut kepada salah seorang dari mereka sehingga ia merasa puas dan semua orang sudah mendapatkan bagiannya. Kemudian aku memberikan gelas susu tersebut kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu mengangkat kepalanya ke arahku sambil tersenyum dan berkata: “Yang tersisa hanya engkau dan aku saja!” Aku menjawab: “Benar, ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Minumlah!” dan aku pun meminumnya. Kemudian ia bersabda: “Minumlah!” dan aku meminumnya lagi.
Ia terus mengatakan: “Minumlah!” dan aku pun selalu meminumnya, sehingga aku berkata: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, sudah tidak ada tempat dalam tubuhku untuk menampungnya lagi!” Kemudian Rasul Saw mengambil gelas tadi kemudian Beliau meminum susu yang tersisa.
Tidak berselang lama sejak itu, sehingga kaum muslimin mendapatkan kebaikan yang amat banyak. Mereka mendapatkan harta ghanimah yang melimpah dari penaklukan yang mereka lakukan. Sehingga Abu Hurairah pun memiliki harta, tempat tinggal & perabotan, istri & anak.
Akan tetapi itu semua tidak merubah apapun terhadap dirinya yang mulia. Ia tidak pernah lupa akan hari-hari susahnya dahulu. Ia sering kali berkata: “Aku tumbuh sebagai seorang anak yatim. Aku berhijrah sebagai orang miskin. Aku pernah menjadi pegawai Busrah binti Ghazwan untuk sekedar memberiku makan. Aku melayani kaum jika mereka singgah. Dan aku menarikkan unta mereka bila mereka hendak berangkat. Dan kini Allah Swt telah menikahkah aku dengan Busrah. Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan agama sebagai pegangan dan menjadikan Abu Hurairah sebagai seorang imam.
Abu Hurairah pernah menjadi wali (gubernur) Madinah pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan lebih dari sekali. Jabatan tersebut sedikitpun tidak merubah watak dan sikapnya.
Ia pernah melintasi sebuah jalan di Madinah –pada saat itu ia menjadi wali di sana-. Ia membawa kayu bakar di atas punggung untuk dibawa kepada keluarganya. Kemudian ia berpapasan dengan Tsa’labah bin Malik. Kemudian Abu Hurairah berkata kepada Tsa’labah: “Tolong berikan jalan untuk Amir (pemimpin), ya Ibnu Malik!” Tsa’labah membalas: “Semoga
Allah merahmatimu. Apakah engkau belum merasa cukup sehingga masih mengerjakan hal ini?”
Abu Hurairah membalas: “Berikan jalan untuk Amir dan kayu bakar yang ada di punggungnya!”
Selain terkenal sebagai orang yang luas ilmunya dan berbudi luhur, ia juga dikenal sebagai orang yang bertaqwa dan wara’. Ia selalu berpuasa di siang hari, dan pada seperti malam pertama ia sudah bangun untuk ibadah. Kemudian pada paruh kedua malam, ia membangunkan istrinya sehingga istrinya beribadah pada sepertiga kedua dari malam. Kemudian Istrinya pada separuh malam terakhir membangunkan putrinya untuk beribadah.
Maka ibadah kepada Allah Swt tidak pernah berhenti sepanjang malam di rumah Abu Hurairah.