Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat- Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim AS kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa AS.
Allah SWT menyampaikan shalawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan shalawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bershalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi Muhammad dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau Nabi Muhammad SAW datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam AS. Beliau adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jelas kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba- tiba fikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang- orang yang berhaji dan berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita- cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail AS, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang- orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan Nalah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia- sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. bahwasanya ia tidak memiliki anak- anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, isterinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang ke sembilan, sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih di kawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan rohaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi- lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan - hewan korban. Manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama isterinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu bayang- bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan mereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman- pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.