Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah (‘Amir bin Abdullah bin Al Jarrah) Bagian 1

  • Home
  • Abu Ubaidah Ibnu Al Jarrah (‘Amir bin Abdullah bin Al Jarrah) Bagian 1
“Setiap Ummat Memiliki Orang yang Amin (Terpercaya), dan Amin Ummat ini Adalah Abu Ubadah” (Muhammad Rasulullah)


Dia memiliki wajah yang tenang. Paras yang berwibawa. Badan yang kurus. Postur yang tinggi. Alis yang tipis... Sedap dipandang mata. Enak untuk dilihat. Damai terasa di hati.

Dia juga adalah orang yang ramah. Suka rendah hati. Pemalu. Akan tetapi dalam situasi serius ia bagai seekor singa yang menerkam.

Dia serupa dengan mata pedang yang begitu indah dan berkarisma, dan juga tajam dan dapat membabat layaknya pedang.

Dialah Amin ummat Muhammad, ‘Amir bin Abdullah bin Al Jarrah Al Fihry Al Qurasy yang dipanggil dengan nama Abu Ubaidah.

Abdullah bin Umar ra pernah mendeskripsikan sosoknya dengan ucapannya: Tiga orang dari suku Quraisy yang paling terkemuka. Memiliki akhlak yang paling baik. Paling pemalu. Jika mereka berbicara denganmu maka mereka tidak akan berdusta. Dan jika engkau berbicara dengan mereka, mereka tak akan mendustaimu. Ketiganya adalah: Abu Bakar As Shiddiq, Utsman bin Affan dan Abu Ubaidah bin Al Jarrah.

Abu Ubaidah adalah termasuk orang pertama yang masuk ke dalam Islam. Ia masuk Islam sehari setelah Abu Bakar. Ia memeluk Islam karena jasa Abu Bakar. Abu Bakar mengajak Abu Ubaidah, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un dan Al Arqam bin Abi Al Arqam datang menghadap Nabi Saw dan menyatakan dihadapan Beliau kalimat kebenaran. Dan mereka semua menjadi pilar pertama tempat dibangunnya kerajaan Islam yang agung.

Abu Ubaidah mengalami pengalaman keras yang dirasakan kaum muslimin selagi berada di Mekkah sejak pertama hingga akhir. Dia juga merasakan penderitaan kaum muslimin pada masa-masa awal atas segala penderitaan, sakit dan kesedihan yang tidak pernah dirasakan oleh para pengikut agama di muka bumi ini. Namun ia tetap teguh menghadapi ujian ini, dan senantiasa mentaati dan membenarkan Allah dan Rasul-Nya dalam segala kondisi.

Akan tetapi ujian yang diderita oleh Abu Ubaidah pada perang Badr adalah sebuah penderitaan yang tidak dapat digambarkan oleh siapapun.

Ketika perang Badr, Abu Ubaidah menyerang di antara barisan dengan begitu berani dan tak memiliki kegentaran sedikitpun. Kaum musyrikin jadi takut dibuatnya. Ia berputar-putar di medan laga seolah tidak takut mati. Para penunggang kuda suku Quraisy menjadi gentar dibuatnya dan mereka berusaha menjauhi diri dari Abu Ubaidah setiap kali bertemu.

Akan tetapi ada seorang di antara mereka yang senantiasa mengajak duel Abu Ubaidah ke mana saja ia pergi, dan Abu Ubaidah senidiri selalu menjauhkan diri darinya.

Orang tersebut terus mendesak dan menyerang, sementara Abu Ubaidah selalu menjauh darinya. Orang tersebut akhirnya menutup semua jalan bagi Abu Ubaidah, dan berdiri membatasi ruang gerak Abu Ubaidah sehingga tidak dapat membunuh musuh Allah lainnya.

Saat Abu Ubaidah sudah merasa geram, maka Abu Ubaidah melayangkan pedangnya ke arah kepala orang tadi sehingga terbelah dua; dan akhirnya orang itu tewas dihadapan Abu Ubaidah.

Tidak usah Anda –wahai pembaca yang budiman- menebak siapakah orang yang tewas ini.

Bukankah sudah aku katakan bahwa pengalaman keras yang dirasakannya sudah tak terbayangkan lagi?

Engkau akan pusing dibuatnya jika engkau mengetahui bahwa orang yang tewasw adalah Abdullah bin Al Jarrah ayah dari Abu Ubaidah.

Abu Ubaidah tidak membunuh ayahnya, akan tetapi ia membunuh kemusyrikan yang berada dalam diri ayahnya.

Maka Allah Swt menurunkan sebuah ayat tentang Abu Ubaidah dan ayahnya yang berbunyi:



“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. Al-Mujadilah [58] : 22)

Bagi Abu Ubaidah ini bukanlah sebuah hal yang menakjubkan. Kekuatan imannya kepada Allah dan pembelaannya kepada agama, dan amanah kepada ummat Muhammad telah mencapai sebuah posisi yang dicita-citakan oleh sebuah jiwa yang besar di sisi Allah.

Muhammad bin Ja’far berkisah: Sebuah rombongan Nasrani datang kepada Nabi Saw dan mereka berkata: “Wahai Abu Qasim, utuslah kepada kami salah seorang sahabatmu yang kau sukai untuk memutuskan sebuah perkara tentang harta kami yang membuat kami menjadi berselisih, karena kalian wahai kaum muslimin adalah orang-orang yang kami sukai.” Rasulullah Saw langsung menjawab: “Datanglah kepadaku malam hari, nanti aku akan mengirimkan seorang yang kuat dan terpercaya kepada kalian.” Umar bin Khattab berkata: “Maka aku pergi berangkat shalat Zhuhur lebih awal. Dan aku tidak pernah berharap mendapatkan jabatan pada hari itu kecuali pada hari itu agar aku menjadi orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan perkara ini. Begitu Rasulullah Saw menyelesaikan shalat Zhuhurnya, Beliau melihat ke kanan dan ke kiri. Aku berusaha meninggikan badanku agar terlihat olehnya. Ia tetap saja menyisirkan pandangannya kepada kami sehingga Beliau melihat ke arah Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Beliau langsung memanggilnya seraya bersabda: ‘Pergilah
kepada mereka. Putuskanlah perkara yang tengah mereka perselisihkan dengan benar!’ dan akhirnya Abu Ubaidah pergi ke tempat mereka.”

Abu Ubaidah bukan saja merupakan orang yang amanah, akan tetapi ia juga merupakan orang yang sanggup mengkombinasikan kekuatan dengan amanah. Kekuatan yang dimilikinya ini sering kali muncul dalam banyak kesempatan:

Suatu hari Rasulullah Saw mengutus sekelompok orang dari para sahabatnya untuk mencegat sebuah kafilah suku Quraisy. Dan Rasulullah Saw menunjuk sebagai Amir (pemimpin) mereka adalah Abu Ubaidah ra. Rasulullah membekali mereka dengan sekantong kurma saja. Abu Ubaidah memberikan hanya satu kurma saja kepada masing-masing sahabatnya dalam sehari. Maka setiap orang menghisap kurma tersebut sebagaimana seorang bayi menghisap payudara ibunya, kemudian mereka meminum air. Dan semuanya merasa cukup dengan makanan seperti itu hingga malam hari.