Saat Nabi Saw melihat kegigihan perjuanganku, Beliau bertanya kepada pamanku Abbas: “Siapakah ini?” Abbas menjawab: “Dia adalah saudaramu dan sepupumu, Abu Sufyan bin Al Harits. Ridhailah dirinya, ya Rasulullah!” Rasul bersabda: “Aku telah ridha kepadanya. Dan Allah telah mengampuni permusuhan yang telah ia lakukan kepadaku!
Maka hati ku langsung gembira mendengar Rasulullah Saw telah ridha kepadaku. Aku mencium kakinya yang berada di atas tunggangan. Kemudian ia menoleh ke arahku sambil bersabda: “Wahai saudaraku, majulah dan bunuhlah!”
Ucapan Rasulullah Saw mengobarkan semangatku. Maka aku menyerang kaum musyrikin yang menggoncangkan posisi mereka. Kamu muslimin kemudian mengikutiku menyerang mereka sehingga kami mampu mengusir mereka kira-kira sejauh 1 farsakh. Dan kami mampu membuat mereka kocar-kacir.
Sejak peristiwa Hunainin, Abu Sufyan merasakan indahnya keridhaan Rasulullah Saw dan ia bahagia dengan persahabatan Beliau. Namun Abu Sufyan tidak pernah mengangkat pandangannya dihadapan Beliau, dan tidak pernah pandangannya tertuju pada wajah Beliau karena merasa malu dengan masa lalunya.
Abu Sufyan selalu menyesali masa-masa kelam yang ia gunakan pada masa jahiliah karena telah terhalang dari cahaya Allah, terhalang dari kitab-Nya. Oleh karenanya, ia senantiasa menghabiskan waktu siang dan malamnya bersama Al Qur’an, mempelajari hukum-hukumnya dan menyerap segala nasehat yang ada di dalamnya.
Dia benar-benar telah meninggalkan dunia dan menghadap Allah Swt dengan seluruh anggota badannya. Sehingga pada suatu kesempatan Rasulullah Saw melihat Abu Sufyan masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw lalu bertanya kepada Aisyah ra: “Tahukah kamu siapakah orang itu, ya Aisyah?” Aisyah menjawab: “Tidak tahu, ya Rasulullah!” Rasul bersabda: “Dia adalah sepupuku, Abu Sufyan bin Al Harits. Perhatikanlah, dia adalah orang yang pertama masuk ke dalam masjid dan dialah orang yang terakhir keluar. Pandangannya tidak akan berpaling dari gerak langkah sendalnya.”
Saat Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya. Abu Sufyan bersedih atas kematian Beliau seperti seorang ibu yang menangisi anak tunggalnya yang meninggal. Ia menangisi Rasulullah seperti seorang yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Abu Sufyan membuat sebuah kasidah yang menggambarkan kesedihan dan kenestapaan. Ia berkata:
Tak dapat aku tidur, dan malam terasa panjang bagiku… Malam musibah bagi saudaraku begitu panjang
Aku bahagia karena derita ku tidak terlalu panjang… Sepanjang musibah yang dirasakan oleh kaum muslimun
Musibah terasa berat bagi kami… Apalagi di saat Rasul diambil ruhnya Karena musibah ini… Semua sisi bumi terasa sempit
Kami kehilangan wahyu dan orang yang senantiasa dihampiri oleh Jibril
Dan itulah yang lebih pantang menjadi perjalanan jiwa manusia
Dialah seorang Nabi yang telah melenyapkan keraguan diri kamu… dengan apa yang diwahyukan kepadanya dan dengan apa yang ia sabdakan
IA telah memberi kami petunjuk dan kami tidak khawatir tersesat… sebab Rasul menjadi petunjuk bagi kami
Berpisahlah jika engkau ragu dan itu merupakan kekuarangan… Jika kau tak ragu maka inilah jalan sebenarnya
Maka kubur bapakmu adalah pemuka semua kubur… dan di dalamnya terdapat panghulu manusia yaitu Rasul
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Abu Sufyan merasakan ajalnya telah tiba lalu ia menggali kubur dengan tangannya sendiri.
Tiga hari setelah itu, maka datanglah kematian untuk menjemputnya, seolah seperti sebuah agenda yang telah dijanjikan. Ia kemudian menatap istri, anak dan seluruh keluarganya lalu berkata: “Janganlah kalian menangisiku. Demi Allah, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan kesalahan sejak aku masuk Islam.
Kemudian pergilah ruhnya yang suci. Umar Al Faruq melakukan shalat untuknya dan bersedih karena kepergiannya. Dan ini dirasakan oleh para sahabat yang mulia. Mereka semua menganggap kematian Abu Sufyan merupakan sebuah musibah yang terjadi bagi Islam dan muslimin.