Uqbah bin Amir Al Juhany Bagian 1

  • Home
  • Uqbah bin Amir Al Juhany Bagian 1
“Uqbah bin Amir telah Menggantungkan Cita-Citanya pada Dua Hal: Ilmu & Jihad.”


Rasulullah Saw hampir tiba di Yatsrib, setelah lama berharap dan menantikannya…

Disana sudah menunggu para penduduk Madinah yang baik hati. Mereka berkerumun dengan memukulkan genderang serta mengumandangkan tahlil serta takbir karena gembira menyambut datangnya Nabi yang penuh kasih dan sahabatnya As Shiddiq.

Terlihat juga di sana ada wanita-wanita yang berada di atas atap rumah mereka bersama anak-anaknya. Mereka mencoba menyisir pandangan sambil bertanya: “Yang mana orangnya… Yang mana orangnya?”

Terlihatlah kendaraan Rasulullah Saw yang berjalan tenang di antara barisan orang-orang. Yang diiringi dengan hati yang gembira dan air mata kebahagiaan serta senyuman ceria.

Akan tetapi Uqbah bin Amir Al Juhany tidak melihat iringan kendaraan Rasulullah saw dan tidak senang menyambut Beliau seperti orang-orang lain.

Hal itu dikarenakan ia tengah keluar menuju daerah pedalaman dengan membawa domba-dombanya yang ia dapat supaya ia bisa menggembalakannya. Setelah sekian lama ia merasakan kelaparan dan takut mati karenanya. Hanya domba-domba itulah yang ia miliki dari kehidupan dunia ini.

Akan tetapi kebahagiaan yang merebak di Madinah Al Munawarah dengan cepat tersiar hingga desa-desa yang dekat dengannya atau yang jauh. Kabar gembira itu akhirnya sampai ke telinga Uqbah bin Amir Al Juhany yang sedang mengurusi domba-dombanya di pedalaman kampung.

Kita akan beri kesempatan kepada Uqbah bin Amir untuk menceritakan sendiri kisah perjumpaannya dengan Nabi Saw. Uqbah berkata:
“Rasulullah Saw tiba di Madinah dan pada saat itu aku sedang mengurus domba milikku. Begitu aku mendengar berita kedatangan Beliau, aku segera meninggalkan hartaku dan segera pergi untuk menemuinya tanpa sempat berpikir apapun. Begitu aku berjumpa dengan Beliau, aku bertanya: “Apakah engkau mau membai’atku, ya Rasulullah?” Beliau
bertanya: “Siapakah engkau?” Aku menjawab: “Saya adalah Uqbah bin Amir Al Juhany.” Rasul bertanya: “Mana yang lebih kau sukai: apakah kau akan berbai’at kepadaku sebagai seorang Arab, atau kau berbai’at kepadaku karena telah berhijrah?” Aku menjawab: “Aku lebih memilih bai’at hijrah.” Maka Rasulullah Saw membai’atku sebagaimana Beliau membai’at para muhajirin. Kemudian aku menginap semalam bersama Beliau lalu aku kembali untuk mengurusi domba-dombaku.”

Kami saat itu berjumlah 12 orang yang telah menyatakan masuk Islam dan tinggal jauh dari Madinah untuk menggembalakan domba-domba milik kami di pedalaman.

Salah seorang dari kami berkata: “Tidak akan bermanfaat besar bagi kita, bila kita tidak datang menghadap Rasulullah Saw setiap hari agar kita dapat mempelajari agama, dan mendengarkan wahyu langit yang diturunkan kepadanya. Maka baiknya setiap hari salah seorang di antara kita ada yang berangkat ke Yatsrib, biar dombanya kita yang menguruskannya.”

Kemudian aku berkata: “Berangkatlah kalian menghadap Rasulullah satu demi satu. Orang yang pergi boleh menitipkan dombanya kepadaku. Sebab aku amat khawatir kepada domba-dombaku untuk aku titipkan kepada orang lain.”

Kemudian para sahabatku berangkat menghadap Rasulullah Saw satu per satu, dan mereka menitipkan dombanya untuk aku gembalakan. Jika ia sudah kembali, aku mendengarkan apa yang telah ia dengar. Aku menimba apa yang telah ia dapatkan. Aku terus melakukan hal itu hingga aku bertanya kepada diri sendiri dan akhirnya aku berkata: “Celaka! Apakah karena hanya alasan domba yang tidak gemuk dan membuat kaya engkau akan kehilangan kesempatan bersahabat dengan Rasul Saw dan kehilangan perjumpaan langsung tanpa perantara lagi?!… Kemudian aku biarkan domba-dombaku, dan akupun berangkat ke Madinah agar aku dapat tinggal di Masjid Rasulullah Saw di samping Beliau.

Tidak pernah terbayangkan oleh Uqbah bin Amir Al Juhany –sejak ia mengambil keputusan yang amat menentukan ini- bahwa ia akan menjadi pada beberapa lama kemudian salah seorang dari para sahabat yang berilmu. Ahli dalam bidang ilmu Al Qur’an. Salah seorang panglima perang yang ternama dan salah seorang dari para wali (gubernur) Islam.

Ia pun tidak pernah membayangkan –sekedar berkhayal- saat ia meninggalkan dombanya dan berangkat menuju Allah dan Rasul-Nya
bahwa dirinya akan berada di barisan terdepan pasukan dan menaklukan Damaskus yang menjadi pusat dunia dan membuat bagi dirinya rumah di tengah tamannya yang indah di daerah gerbang Tuma.

Ia juga tidak pernah berkhayal bahwa dirinya akan menjadi salah seorang panglima perang yang menaklukkan Mesir dan bahwa dirinya akan menjadi wali di sana. Lalu membangun sebuah rumah untuk dirinya di tepi gunungnya yang bernama Al Muqattam. Semua ini adalah hal-hal yang tidak pernah terduga dan hanya diketahui oleh Allah saja.

Uqbah bin Amir selalu mendampingi Rasulullah ibarat sebuah bayangan. Uqbah selalu memegang tali kekang bighal Rasul, kemana saja Beliau pergi. Sehingga ia dikenal dengan radif Rasulillah (Pembonceng Rasulullah). Terkadang Rasul Saw turun dari bighalnya supaya Uqbah yang menungganginya, sedang Nabi Saw berjalan kaki.

Uqbah mengisahkan: “Aku pernah memegang kendali bighal Rasulullah Saw di sebuah hutan Madinah kemudian Beliau bertanya kepadaku: “Wahai Uqbah, apakah engkau tidak mau naik?!” Aku tadinya hendak mengatakan tidak, akan tetapi aku khawatir itu akan menjadi sebuah pembangkangan terhadap perintah Rasulullah. Lalu aku menjawab: “Baik, ya Nabi Allah!” Maka Rasulullah Saw turun dari bighalnya dan aku pun naik ke atasnya untuk memenuhi permintaannya… dan Beliau pun berjalan kaki. Tidak lama kemudian aku turun dan Nabi Saw pun kembali naik ke atas bighal. Kemudian Beliau bersabda kepada ku: “Wahai Uqbah, maukah engkau jika aku ajarkan 2 surat yang tidak ada bandingannya?” Aku menjawab: “Tentu aku mau, ya Rasulullah!” Kemudian Beliau membacakan untukku: “Qul Audzu birabbil falaq dan Qul Audzu birabbin naas.” Kemudian tibalah waktu shalat. Kemudian Rasul Saw menjadi imam dan membaca kedua surat tersebut. Lalu Beliau bersabda: “Bacalah kedua surat tersebut setiap kali engkau tidur dan terbangun.”

Uqbah berkata: Aku senantiasa membaca kedua surat tersebut sepanjang hidupku.

Uqbah bin Amir Al Juhany menjadikan cita-citanya hanya terpaut pada dua hal saja, yaitu: ilmu pengetahuan dan jihad. Ia berusaha untuk mendapatkan keduanya dengan ruh dan jasadnya. Ia rela mengeluarkan apa saja untuk mendapatkannya.