Beliau dikatakan sebagai orang yang lemah karena orang-orang fakir dan orang-orang yang menderita adalah orang-orang yang beriman padanya, sedangkan orang-orang kaya dan para pembesar telah menentang mereka. Demikianlah pertimbangan umumnya manusia yang tidak memiliki kekuatan cukup untuk menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu’ib di mana beliau dianggap sebagai orang yang lemah:
"Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami akan merajammu."(QS. Hud: 91)
Seandainya kalau bukan karena keluargamu dan kaummu dan orang-orang yang mengikutimu niscaya kami akan menggali suatu lubang dan kami akan bunuh kamu di lubang itu dengan cara melempari kamu dengan batu:
"Sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami." (QS. Hud: 92)
Kaum Nabi Syu’ib berpindah dari cara mengejek pada cara menyerang. Nabi Syu’ib telah menyampaikan bukti kepada mereka setelah mereka mengejeknya, lalu mereka mengubah cara mereka berdialog. Mereka memberitahunya bahwa mereka tidak memahami apa yang beliau katakan dan mereka melihat bahwa Nabi Syu’ib sebagai orang yang lemah dan hina. Dan seandainya kalau bukan karena mereka takut (kasihan) kepada keluarganya niscaya mereka akan membunuhnya. Mereka menampakkan kebencian kepada Nabi Syu’ib dan ingin sekali untuk membunuhnya kalau bukan karena alasan-alasan yang berhubungan dengan keluarganya. Menghadapi ancaman itu, Nabi Syu’ib tetap menunjukkan sikap lembutnya lalu beliau bertanya kepada mereka dengan maksud untuk menggugah ke sekian kalinya akal mereka:
"Syu’ib menjawab: 'Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. " (QS. Hud: 92)
Apakah cukup rasional jika mereka membayangkan hal tersebut? Mereka melupakan hakikat kekuatan yang mengatur alam. Sesungguhnya hanya Allah S.W.T Yang Maha Mulia dan Maha Kuat. Seharusnya mereka mengingat hal itu; seharusnya seseorang tidak takut kepada apapun selain Allah S.W.T dan tidak membandingkan kekuatan di alam wujud ini dengan kekuatan Allah S.W.T. Hanya Allah S.W.T Yang Kuat dan hanya Dia yang mengatur hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu’ib mulai kesal dan semakin kesal dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya: "Pemuka-pemuka dari kaum Syu'ib yang menyombongkan diri berkata: 'Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’ib dan dengan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami.'" (QS. al-A'raf: 88)
Mereka menggunakan tahap baru dengan cara mengancam Nabi Syu’ib; mereka mengancamnya untuk membunuh dan mengusir dari desa mereka; mereka memberi pilihan kepada Nabi Syu’ib antara terusir dan kembali kepada agama mereka yang menyembah pohon-pohon dan benda-benda mati. Nabi Syu’ib memberitahu kepada mereka bahwa masalah kembalinya ia ke agama mereka adalah masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah yang disebutkan dalam perjanjian. Sungguh Allah S.W.T telah menyelamatkan beliau dari agama mereka lalu bagaimana beliau kembali lagi padanya? Beliau yang mengajak mereka pada agama tauhid lalu bagaimana beliau mengajak mereka untuk kembali pada kesyirikan dan kekufuran? Beliau mengajak mereka dengan cara yang lembut dan kasih sayang sementara mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah pertentangan antara Nabi Syu’ib dan kaumnya semakin berlanjutan. Nabi Syu’ib memegang amanat dakwah untuk menghadapi para pembesar, para pendusta, dan para penguasa kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu’ib mulai mengetahui bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan karena mereka telah berpaling dari Allah S.W.T:
"Sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya pengetahuan Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan. Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan). Sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu." (QS. Hud: 92-93)
Nabi Syu’ib berlepas diri dari mereka. Mereka telah berpaling dari agama Allah S.W.T bahkan telah mendustakan nabi-Nya dan menuduhnya bahwa ia tersihir dan seorang pembohong. Maka, setiap orang hendaklah melakukan apa saja yang diinginkannya dan hendaklah mereka menunggu azab Allah S.W.T. Kemudian pergelutan antara Nabi Syu’ib dan kaumnya berakhir. Mereka meminta kepada Nabi Syu’ib untuk mendatangkan azab dari langit jika beliau termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada mencabar dan menentang, mereka berkata: "di mana azab itu, di mana siksaan yang dijanjikan itu? Mengapa terlambat datang?"
Mereka mengejek Nabi Syu’ib dan beliau dengan tenang menunggu datangnya azab Allah S.W.T. Allah S.W.T mewahyukan kepada beliau agar keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi Syu’ib keluar bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah S.W.T: "Dan tatkala datang azab Kami. Kami selamatkan Syu’ib dan orang- orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari kami, dan orang-orang zalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95)
Ia adalah teriakan sekali saja satu suara yang datang kepada mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka barangkali bergembira karena membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka dikejutkan ketika datang kepada mereka siksaan yang besar pada hari yang besar.
Selesailah masalah ini. Mereka menyadari bahwa teriakan itu membawa bencana buat mereka; teriakan itu menghanguskan setiap makhluk yang ada di dalam negeri itu. Mereka tidak mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri mereka.