Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi Bagian 2

  • Home
  • Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi Bagian 2
Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad setelah peperangan Manadzir dan namanya mulai disebut orang.

Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas berat.

Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan, mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin Allah.

Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu padang pasir sering merasa keletihan.

Hal pertama yang ia jumpai di sana adalah Rustaq Zaliq yang terletak di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki banyak buah.

Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam festival saat mereka sedang tidak siaga. Kemudian Rabi akan menebas leher mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah.

Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang Duhqan mereka juga turut menjadi tawanannya.

Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk dibawakan kepada tuannya.

Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab: “Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap tahun?”

Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!”

Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya.

Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata: “Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak setinggi ini!” Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” Kemudian ia mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan.

Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan. Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang.

Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan.

Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota tersebut dan mengusir pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti dikeluarkan.

Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh.

Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin, Marbazan negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk melakukan perdamaian dengan Rabi. Selagi Marbazam tadi memiliki kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi dirinya dan bagi kaumnya.

Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian.

Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan dilintasi Barwiz.

Dan Rabi adalah seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang yang memandangnya.

Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar karena merasa takut kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan Rabi.

Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya adalah bahwa Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala

mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini.

Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota tersebut yang dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil dan takbir.

Hari itu adalah sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik Allah.

Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali (gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh Bani Umayyah, yang kemudian membuat Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan.

Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah tersebut.

Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana adalah saat Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!”

Lalu Rabi membalas surat tersebut dengan: “Aku mendapati dalam Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.”

Pada hari Jum’at setelah surat tersebut ia terima, Rabi pergi ke masjid untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh manusia. Kemudian ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus mengamini apa yang aku bacakan!” Kemudian ia berdo’a:

“Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan diperlambat!”

Maka semua manusia mengaminkan do’a tersebut.

Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah kembali ke pangkuan Tuhannya.