Ja’far bin Abi Thalib Bagian 1

  • Home
  • Ja’far bin Abi Thalib Bagian 1
“Aku Melihat Ja’far di Surga. Ia memiliki 2 Sayap yang Berlumuran Darah dan Bulu yang Diberi Warna.” (Hadits Al Syarif)


Di Bani Manaf ada 5 orang yang amat mirip dengan Rasulullah Saw sehingga orang yang lemah pandangannya sering keliru membedakan Rasul Saw dengan mereka.

Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui siapa saja kelima orang tersebut yang begitu mirip dengan Nabi Saw.

Maka marilah kita berkenalan dengan mereka semua.

Mereka adalah: Abu Sufyan bin Al Harits bin Abdul Muthalib, Beliau ini adalah sepupu Rasulullah Saw dan saudara sesusuan dengan Nabi Saw. Kemudian Futsam bin Al Abbas bin Abdul Muthalib, dan dia juga merupakan sepupu Nabi Saw. Al Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim kakeknya Imam Syafi’I ra. Al Hasan bin Ali, cucu Rasulullah Saw dan ia merupakan orang yang paling mirip dengan Nabi Saw dibandingkan dengan yang lain. Dan Ja’far bin Abu Thalib, dia adalah saudara Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Kami akan memaparkan sebuah episode dari kisah hidup Ja’far bin Abi Thalib ra…

Abu Thalib -meski dia adalah orang yang terpandang di kalangan bangsa Quraisy, dan memiliki posisi penting di kaumnya- namun ia adalah orang yang amat sulit hidupnya dan banyak anggota keluarganya.

Kondisi tersebut semakin bertambah sulit dengan datangnya tahun paceklik yang terjadi pada bangsa Quraisy sehingga membuat semua panenan menjadi gagal dan hewan-hewan ternakpun tidak dapat mengeluarkan susu. Ini semua membuat manusia hanya mampu mengkonsumsi tulang-tulang basah saja.

Di kalangan Bani Hasyim –saat itu- tidak ada orang yang berkeluasan kecuali Muhammad bin Abdullah dan pamannya Al Abbas.
Muhammad lalu berkata kepada Abbas: “Wahai paman, saudaramu Abu Thalib banyak sekali keluarganya. Engkau tahu sendiri bahwa banyak manusia yang berkesusahan karena kemarau yang panjang serta wabah kelaparan. Marilah kita ke rumahnya untuk menanggung sebagian keluarganya. Aku akan menanggung seorang anaknya dan engkaupun menanggung seorang lagi dari anaknya, sehingga keduanya kita cukupi kebutuhannya.”

Abbas berkata: “Engkau telah mengajak kepada hal kebaikan dan engkau menyeru kepada kebajikan.”

Kemudian keduanya berangkat dan bertemu dengan Abu Thalib. Keduanya berkata: “Kami datang berniat untuk meringankan beban keluargamu sehingga kesulitan dan penderitaan ini sirna dari diri manusia.” Abu Thalib berkata: “Kalian boleh untuk mengambil siapa saja, selain Aqil.”

Maka Muhammad mengajak Ali dan menjadikan keluarganya.
Sedangkan Abbas mengajak Ja’far dan menjadikannya sebagai keluarga.

Ali terus tinggal bersama Muhammad hingga saat Allah Swt mengutusnya sebagai seorang Nabi yang membawa agama petunjuk dan kebenaran. Dialah yang menjadi orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan pemuda.

Ja’far pun terus tinggal dengan pamannya sehingga ia tumbuh dewasa, masuk Islam dan berkecukupan bersamanya.

Ja’far bin Abi Thalib beserta istrinya Asma binti Umais bergabung dengan rombongan ‘cahaya’ sejak perjalanan pertama.

Keduanya masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar As Shiddiq ra sebelum Rasulullah Saw masuk ke Darul Al Arqam.

Pemuda AlHasyimi ini bersama istrinya merasakan siksaan bangsa Quraisy sebagaimana yang dirasakan oleh muslimin yang lain. Keduanya mampu bersabar atas siksaan ini karena keduanya menyadari bahwa jalan menuju surga dipenuhi dengan duri dan sarat dengan hal yang menyakitkan. Akan tetapi yang membuat mereka jengkel sebagaimana yang dirasakan oleh sahabat mereka dari kaum muslimin adalah bahwa bangsa Quraisy menghalangi mereka untuk melakukan ibadah dan menghalangi mereka untuk merasakan lezatnya ibadah. Bangsa Quraisy bahkan senantiasa mengawasi setiap hembusan nafas mereka.

Pada saat itulah Ja’far bin Abi Thalib meminta izin kepada Rasulullah saw untuk berhijrah bersama istri dan beberapa orang sahabat lainnya ke negeri Habasyah. Rasul pun mengizinkan dengan hati yang sedih.

Yang membuat Rasul bersedih atas para sahabatnya yang suci dan baik itu adalah karena mereka akan meninggalkan kampung mereka. Mereka bersedia meninggalkan tempat di mana mereka bermain di waktu kecil, tanah air dimana mereka tumbuh menjadi remaja. Mereka tinggalkan kampungnya tanpa kesalahan yang mereka perbuat kecuali bahwa mereka mengatakan bahwa: “Tuhan kami adalah Allah!”

Akan tetapi Beliau tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak siksaan bangsa Quraisy.

Berangkatlah rombongan kaum muhajirin pertama ke Habasyah dan salah satu dari mereka adalah Ja’far bin Abi Thalib. Mereka tinggal di sana dengan jaminan keamanan An Najasy yang merupakan pemimpin Habasyah yang dikenal adil dan shaleh.

Akhirnya, pertama kali mereka mendapatkan rasa aman –sejak mereka masuk Islam- dan mereka merasakan nikmatnya ibadah tanpa ada yang mengganggu kenikmatan ibadah mereka, ataupun yang mengacaukannya.

Akan tetapi begitu suku Quraisy mengetahui keberangkatan rombongan muslimin ini menuju Habasyah untuk mendapatkan perlindungan raja Habasyah demi ketenangan beribadah mereka dan keamanan akidah, mereka pun berencana untuk membunuh rombongan muslimin ini atau menggiring mereka masuk ke dalam sebuah penjara besar.

Sekarang, kita akan mempersilahkan Ummu Salamah ra untuk menceritakan kisah yang ia dengar dan saksikan.

Ummu Salamah berkata: “Begitu kami tiba di negeri Habasyah, kami menemukan perlindungan yang amat baik bagi diri kami sehingga kami merasa aman dalam menjalankan agama. Kami dapat beribadah kepada Allah tanpa ada siksaan atau ucapan yang menyakitkan kami. Begitu Quraisy mendengar kabar ini, mereka segera mengirimkan dua orang yang paling gagah diantara mereka kepada An Najasy. Keduanya adalah: Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka berdua dibekali hadiah yang akan diberikan kepada An Najasy dan para pemuka agama di sana. Hadiah tersebut adalah barang-barang yang disukai oleh penduduk Habasyah dari negeri Hijaz. Suku Quraisy juga berpesan kepada kedua utusan ini agar memberikan hadiah kepada para pemuka agama terlebih dahulu sebelum mereka menghadap An Najasy untuk membicarakan urusan kami.