Maka jika ada beberapa ayat Al Qur’an yang turun pada hati Beliau, maka Beliau akan memanggil Zaid dan bersabda: “Tulislah, ya Zaid!” Maka Zaid pun akan menuliskannya.
Maka Zaid bin Tsabit pun menerima langsung ayat-ayat Al Qur’an dari Rasulullah waktu demi waktu, sehingga ia tumbuh dewasa bersama ayat- ayat Al Qur’an. Ia menerima Al Qur’an yang baruu saja turun langsung dari mulut Rasulullah Saw yang berkenan dengan asbabun nuzul tertentu. Hal itu membuat jiwa Zaid semakin terang dengan sinar cahaya Al Qur’an, dan menjadikan akal Zaid bercahaya dengan sinar syariatnya.
Maka pemuda yang beruntung ini semakin mendalamkan kemampuannya dalam bidang Al Qur’an. Ia menjadi sumbur referensi pertama dalam bidang Al Qur’an bagi ummat Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw.
Dia menjadi koordinator pengumpul Kitabullah dalam masa Abu Bakar. Ia juga menjadi tokoh yang berhasil menyatukan mushaf-mushaf Al Qur’an pada masa Utsman bin Affan.
Apakah masih ada posisi yang melebihi hal ini yang dicita-citakan?! Apakah ada di atas kemuliaan ini, kemuliaan yang masih di kejar oleh jiwa manusia?!
Salah satu keistimewan Al Qur’an yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit adalah bahwa Al Qur’an selalu menerangi jalan kebenaran baginya pada beberapa kondisi di mana orang-orang yang pintar pun sering merasa bingung. Di hari Saqifah kaum muslimin bersilang pendapat tentang orang yang tepat untuk menggantikan Rasulullah Saw.
Kaum muhajirin berkata: “Di kelompok kamilah seharusnya terdapat khilafah Rasulullah, sebab kamilah kaum yang lebih pantas.”
Sebagian orang Anshar berkata: “Malah khilafah tersebut sepantasnya, berasal dari kami.”
Ada juga yang mengatakan: “Malah khilafah itu dapat berasal dari kami dan kalian secara bersama-sama. Sebab Rasulullah Saw jika hendak menyuruh seseorang dari kalian untuk mengerjakan sesuatu, Beliau pasti menyuruh salah seorang dari kami untuk sama-sama mengerjakannya.”
Hampir saja terjadi fitnah yang amat besar. Padahal Nabi Saw baru di kafan dan masih berada di tengah mereka belum dikubur.
Di saat itulah, kalimat tegas dan cerdas yang muncul dari petunjuk Al Qur’an amat dibutuhkan sehingga dapat membuat tenang fitnah yang akan bergejolak, dan memberikan cahaya bagi orang-orang bingung yang mencari jalan kebenaran.
Maka meluncurlah kalimat ini dari mulut Zaid bin Tsabit Al Anshary.
Tatkala ia melihat ke arah kaumnya dan berkata: “Wahai, para suku
Anshar… Rasulullah Saw berasal dari suku muhajirin, maka orang yang
menjadi khalifah Beliau adalah seorang dari suku muhajirin yang sama seperti Beliau… dan kita dulunya adalah anshar (penolong) Rasulullah Saw, maka sebaiknya kita tetap menjadi anshar (penolong) bagi khalifah setelahnya dan pembantunya dalam kebenaran.
Kemudian Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar As Shiddiq dan berkata: “Inilah khalifah kalian, bai’atlah dia oleh kalian!”
Zaid bin Tsabit dengan keutamaan Al Qur’an dan pemahamannya serta lamanya ia mendampingi Rasulullah telah menjadikan dirinya sebagai menara petunjuk bagi kaum muslimin. Para khalifah sering meminta pendapatnya dalam masalah-masalah pelik, dan orang-orang muslimin juga kerap meminta fatwa kepadanya dalam berbagai permasalahan. Mereka sering kali mengadukan masalah-masalah waris kepadanya, karena tidak ada lagi di kalangan kaum muslimin –saat itu- orang yang lebih tahu dan mengerti akan hukum waris dan lebih cerdas darinya dalam membagikan harta warisan. Umar bin Khattab pernah berkhutbah di hadapan kaum muslimin pada hari Al Jabiyah yang berbunyi: “Wahai manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, maka hendaknya ia mendatangi Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak menanyakan tentang masalah fiqih, maka silahkan datang kepada Muadz bin Jabal. Siapa yang hendak menanyakan tentang harta, maka datanglah kepadaku. Sebab Allah
telah menjadikan aku wali (orang yang mengurus) harta tersebut, dan aku juga yang berhak untuk membagikannya.”
Para penuntut ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in mengetahui dengan amat baik kedudukan Zaid bin Tsabit yang hingga membuat mereka memuliakan dirinya karena ilmu yang ia kuasai dalam dadanya.
Inilah seorang yang dikenal dengan lautan ilmu yang bernama Abdullah bin Abbas yang mendapati Zaid bin Tsabit yang hendak menaiki kendaraannya. Abdullah berdiri di hadapan Zaid lalu memegangi hewan kendaraannya, dan ia sendiri yang memegang tali kendali hewan tunggangan tersebut seraya menariknya.
Zaid bin Tsabit lalu berkata kepadanya: “Tidak usah kau lakukan itu, wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas lalu menjawab: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada para ulama kami!” Kemudian Zaid berkata kepadanya: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Maka Ibnu Abbas menjulurkan tangannya ke arah Zaid. Lalu menunduklah Zaid ke arah tangan tersebut dan ia menciumnya sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan untuk berlaku kepada Ahli bait Nabi kami!”
Begitu Zaid bin Tsabit telah kembali ke pangkuan Tuhannya, maka kaum muslimin menangisi ilmu karena kematiannya yang turut dikuburkan bersama jasadnya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini telah meninggal orang yang amat luas ilmunya dalam ummat ini. Semoga Allah Swt berkenan menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Dan sang penyair Rasulullah yang bernama Hassan bin Tsabit membuat sebuah syair ratapan atas dirinya yang berbunyi: “Siapa yang lebih menguasai ilmu qafiyah daripada Hasan dan putranya… siapa yang lebih tahu tentang ilmu ma’ani daripada Zaid bin Tsabit?!”