Pada suatu malam, saat itu Usaid sedang duduk di teras belakang rumahnya. Anaknya yang bernama Yahya sedang tidur di sampingnya. Kudanya yang ia siapkan untuk berjihad di jalan Allah sedang terikat dengan jarak yang tidak jauh darinya.
Malam begitu tenang dan langit begitu bersih. Cahaya bintang menyapa bumi dengan begitu tenang dan lembut.
Jiwa Usaid bin Al Hudhair lalu berbisik untuk mengharumi udara yang segar ini dengan bacaan Al Qur’an. Maka ia membacakan dengan suaranya yang merdu:
t“Alif laam miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS. al-Baqarah [2]
: 1-4)
Begitu kudanya mendengarkan bacaan Usaid, kuda tersebut langsung berputar-putar dan hampir membuat tali kekangnya putus. Maka Usaid berhenti membaca dan kudanya langsung diam.
Kemudian ia membaca lagi:
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan-nya,dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah [2] : 5)
Maka kudanya, sekali lagi berputar dengan begitu kuatnya. Lebih kuat dari sebelumnya.
Kemudian Usaid menghentikan bacaannya dan kudanya pun berhenti berputar.
Hal itu terus berulang. Jika Usaid membaca lagi, maka si kuda akan berontak dan lari berputar. Jika Usaid menghentikan bacaannya, maka kuda itu akan tenang dan diam.
Lalu Usaid khawatir akan anaknya dari pijakan sang kuda. Kemudian ia menghampiri sang anak untuk membangunkannya. Pada saat itulah, ia menoleh ke arah langit. Ia melihat awan yang seperti payung yang tidak pernah terlihat oleh mata hal yang lebih hebat dan mengagumkan dari hal itu. Di awan tersebut tergantung benda-benda seperti lampu. Maka seluruh langit menjadi terang benderang. Benda-benda itu terus naik ke langit sehingga tak terlihat lagi.
Keesokan paginya, ia menghadap Nabi Saw dan menceritakan apa yang telah ia lihat semalam. Nabi Saw lalu bersabda kepadanya: “Itu adalah para malaikat yang mendengarkan bacaanmu, Ya Usaid! Jika engkau teruskan bacaanmu, pasti manusia melihat mereka sehingga tidak samar lagi bagi manusia untuk melihat malaikat!”
Sebagaimana Usaid bin Al Hudhair begitu cinta kepada Kitabullah, ia juga amat mencintai Rasulullah Saw. Rasul –sebagaimana penuturan Usaid- adalah manusia yang paling suci, dan merupakan manusia yang paling jujur dan beriman saat membaca Al Qur’an atau tatkala mendengarkannya.
Dan tatkala Usaid memandang Rasulullah yang sedang berkhutbah atau berbicara.
Usaid seringkali berharap tubuhnya dapat menyentuh tubuh Rasul Saw lalu menciumnya.
Suatu kali, hal itu pernah terjadi padanya.
Suatu hari Usaid sedang berkelakar dengan kaumnya. Lalu Rasulullah Saw menyentuh pinggul Usaid dengan tangan Beliau, seolah Rasul menyukai apa yang dikatakan Usaid.
Lalu Usaid berkata: “Engkau telah menyakitiku, ya Rasulullah!” Rasul Saw lalu menjawab: “Mintalah balas dariku, ya Usaid!” Usaid lalu berkata: “Engkau memakai baju dan aku tidak memakai baju saat Engkau mencolekku.”
Lalu Rasulullah Saw mengangkat baju dari tubuhnya. Lalu Usaid merangkul tubuh Rasul dan menciumi bagian di antara ketiak hingga pinggul Rasul dan ia berkata: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. Ini adalah tujuan yang selalu aku impikan sejak aku mengenalmu. Kali ini, aku telah mendapatkannya.
Rasul Saw membalas cinta Usaid kepada Beliau dengan kecintaan yang setimpal. Beliau selalu mengenang masuknya Usaid ke dalam Islam dan pembelaan Usaid kepada Beliau pada peristiwa Uhud sehingga ia rela terkena 7 tombakan yang mematikan pada hari itu. Rasul Saw juga mengetahui pengaruh dan posisi Usaid di kaumnya. Jika Rasul hendak memberik syafaat kepada salah seorang anggota kaumnya, maka Rasul akan memberikan izin syafaat tersebut kepadanya…
Usaid mengisahkan: “Aku datang menghadap Rasulullah Saw dan aku adukan kepadanya tentang sebuah rumah yang dihuni oleh anggota kaum Anshar yang amat fakir dan miskin. Kepala keluarga rumah tersebut adalah seorang wanita. Lalu Rasulullah Saw bersabda: “Ya Usaid, Engkau datang setelah kami menginfaqkan semua yang kami miliki. Jika kau mendengar rizqi yang kami dapat, maka ceritakanlah olehmu tentang penghuni rumah tadi!”
Setelah itu, Rasulullah mendapatkan harta dari perang Khaibar yang ia bagikan kepada kaum muslimin seluruhnya. Beliau membagikan harta tersebut kepada kaum Anshar dengan harta yang banyak. Dan Beliau juga memberikan harta yang banyak kepada penghuni rumah tadi. Aku pun berkata kepada Beliau: “Semoga Allah membalas kebaikanmu kepada mereka, wahai Nabi Allah!”
Rasul Saw menjawab: “Kalian wahai penduduk Anshar, semoga Allah membalas kalian dengan sebaik-baik balasan. Sebab kalian –sepanjang pengetahuanku- adalah kaum yang menjaga kehormatan diri dan bersabar. Kalian akan mendapati manusia akan mengikuti kalian dalam melakukan kebaikan setelah aku mati. Bersabarlah kalian, hingga kalian bertemu denganku lagi. Tempat kalian kembali adalah telagaku!”
Usaid bertutur: “Saat kekhalifahan berpindah ke tangan Umar bin Khattab ra, ia membagikan kepada seluruh kaum muslimin harta dan barang-barang. Ia juga mengirimkan kepadaku sebuah pakaian yang aku anggap hina.
Saat aku sedang berada di mesjid, lalu melintas dihadapanku seorang pemuda dari Quraisy yang menggunakan pakaian panjang dan besar yang pernah dikirimkan oleh khalifah Umar kepadaku. Ia memanjangkan pakaian itu hingga menyentuh bumi. Maka aku bacakan kepada orang yang ada bersamaku saat itu sabda Rasulullah Saw: “Kalian akan mendapati manusia akan mengikuti kalian dalam melakukan kebaikan setelah aku mati.” Dan aku mengatakan: “Benar, sabda Rasulullah!”
Maka ada orang yang menghadap Umar dan memberitahukannya apa yang telah aku katakan. Umar langsung menemuiku segera, dan saat itu aku hendak shalat. Ia berkata: “Shalatlah, ya Usaid!”
Begitu aku usai melakukan shalat, ia mendatangiku dan berkata: “Apa yang telah kau katakan?” Akupun mengatakan apa yang aku lihat dan apa yang telah aku katakan.
Umar berkata: “Semoga Allah memaafkanmu. Itu adalah pakaian yang aku kirimkan kepada fulan. Dia adalah seorang anggota suku Anshar yang turut dalam bai’at Aqabah, perang Badr dan Uhud. Seorang pemuda Quraisy telah membelinya dari orang Anshar tadi lalu dipakainyalah…. Apakah kau mengira ucapan yang pernah disabdakan Rasulullah Saw ini terjadi di zamanku?!!”
Usaid menjawab: “Demi Allah, ya Amirul Mukminin tadinya aku tidak mengira bahwa ini bakal terjadi di zamanmu.”
Setelah itu, usia Usaid bin Al Hudhair tak tersisa lama. Allah telah mengakhiri hidupnya pada masa pemerintahan Umar ra.
Didapati bahwa ia masih berhutang sebanyak 4000 dirham. Ahli warisnya berniat menjual tanah miliknya untuk membayar hutang tersebut.
Saat Umar mengetahui hal itu, ia berkata: “Aku tidak akan membiarkan keturunan saudaraku Usaid menjadi beban masyarakat!” Kemudian Umar bernegosiasi dengan orang yang memberinya hutan. Mereka semua sepakat untuk membeli hasil bumi tanah tersebut selama empat tahun, setiap tahunnya seharga seribu dirham.