Khabbab bin Al Aratti Bagian 2

  • Home
  • Khabbab bin Al Aratti Bagian 2
Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya atau hingga mereka mati.

Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan penyiksaan kepada Khabbab. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab: “Dia adalah hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami dari kegelapan menuju cahaya.”

Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata: “Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya adalah berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.” Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu tersebut di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas tersebut di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua pundaknya.

Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba. Dia pernah melihat Rasulullah Saw yang mempir di toko Khabbab dan berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang telah dilihatnya.

Kemudian setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil besi panas dari tempat pembakarannya kemudian ia meletakkannya di atas kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran... dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya yang bernama Siba.

Begitu Rasulullah Saw mengizinkan kepada para sahabatnya untuk berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah.

Akan tetapi Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali setelah Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar. Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung karena kesakitan seperti seekor anjing yang menggonggong.

Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api.

Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang dipanaskan, maka setelah ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit kepala yang dideritanya.

Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah Khabbab merasakan ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang berada di dekat NabiSaw tanpa adanya halangan dan rintangan.

Ia turut-serta mendampingi Nabi Saw dalam perang Badr dan berjuang di bawah komandonya.

Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib.

Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah pengawasan mereka dengan hidup yang mulia.

Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab dalam ruangan kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” Kemudian Umar bertanya kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!” Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga menjadi bara kemudian mereka menanggalkan bajuku. Kemudian mereka menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api tersebut kecuali air keringat yang berjatuhan dari tubuhku.


Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan setelah merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Akan tetapi ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak pernah dibayangkan oleh orang lain.

Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang membutuhkan.

Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke rumahnya dan mengambil harta tersebut sekehendak mereka tanpa perlu meminta atau izin terlebih dahulu.

Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan dihisab nanti atau akan diadzab karena harta tersebut.

Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham. Demi Allah, aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi orang yang memintanya.’ Kemudian ia menangis.

Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia berkata: ‘Aku menangis karena banyak sahabatku yang sudah wafat namun mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini adalah ganjaran kebaikan yang pernah aku lakukan.’

Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah karena patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Swt tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya.