Belum lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Rasulullah dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Rasulullah pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan barisan Rasulullah.
Demikianlah Rasulullah terus menjalani mata rantai pergelutan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang peribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Rasulullah menikahi sembilan orang isteri. Perkahwinan beliau dengan sembilan isteri tersebut merupakan keistimewaan peribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang isteri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu isteri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orientalis dan musuh-musuh Islam mencuba untuk menghina Nabi dan memujukkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah perkahwinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Rasulullah adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi isteri yang lain sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang isteri sampai mencapai sembilan orang isteri. Perkahwinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkahwinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Rasulullah segera merangkulnya di rumah kenabian. Perkahwinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan terhadap keislaman wanita itu dan kemuliaannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya dalam menjalani kehidupan.
Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa menderhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan jenis lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid datang kepada Rasulullah guna mengadu kepada beliau dan meminta izin untuk menceraikan isterinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar membiarkan Zaid menceraikan isterinya, lalu hendaklah beliau menikahinya. Rasulullah merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Rasulullah membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi isteri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah justru merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai isterinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang- orang mukmin untuk (menikahi) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS.
al-Ahzab: 37)
Pernikahan beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan Rasulullah tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi isteri Rasulullah. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempat tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberanian ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur Rasulullah dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pernikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Rasulullah menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masihi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Rasulullah yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum lelaki adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasulullah mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal. Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasulullah hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian isterinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian isterinya bersatu untuk meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan isteri-isterinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau telah menceraikan semua isterinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada isteri-isteri Nabi untuk tetap menjadi isteri beliau atau diceraikannya). Turunlah Al- Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada isteri-isteri Nabi antara menjalani kehidupan di rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian.