Thalhah bin Ubaidillah Al Taimy Bagian 1

  • Home
  • Thalhah bin Ubaidillah Al Taimy Bagian 1
“Siapa yang Ingin Melihat Orang yang Berjalan di Muka Bumi dan Telah Meninggal Dunia, Maka Lihatlah Thalhah bin Ubaidillah” (Muhammad Rasulullah)


Thalhah bin Ubaidillah berangkat bersama sebuah rombongan bangsa Quraisy dalam sebuah ekspedisi perdagangan ke Syam. Sesampainya kafilah tersebut di kota Bushra, beberapa orang pemuka dari pedagang Quraisy tadi langsung menuju pasar yang ramai di sana untuk melakukan transaksi jual-beli.

Meski Thalhah masih berusia muda dan belum memiliki pengalaman dagang seperti yang mereka miliki, akan tetapi ia memiliki kecerdikan dan insting bisnis yang dapat membuat dirinya mengalahkan mereka semua khususnya dalam mendapatkan transaksi perdagangan yang paling besar.

Saat Thalhah sedang hilir-mudik di pasar yang sesak oleh orang-orang yang berdatangan dari segala penjuru, tiba-tiba ia mengalami sebuah peristiwa yang tidak hanya merubah jalan hidupnya saja, akan tetapi merupakan sebuah berita gembira yang telah merubah catatan sejarah seluruhnya.

Kita akan mempersilahkan Thalhah bin Ubaidillah untuk menceritakan kepada kita kisahnya yang berkesan ini.

Thalhah berkata: “Saat kami sedang berada di pasar Bushra, tiba-tiba ada seorang Rahib berteriak menyeru manusia: “Wahai semua pedagang. Tanyakanlah kepada orang yang datang pada musim dagang ini, adakah di antara mereka salah seorang penduduk tanah Haram (Mekkah)?”

Saat itu aku berada di dekatnya, maka aku segera menanggapi dan aku berkata: “Benar, aku berasal dari penduduk tanah Haram.”

Ia bertanya: “Apakah telah muncul di negeri kalian seorang yang bernama Ahmad?” Aku bertanya: “Siapakah Ahmad itu?!” Ia menjawab: “Putra Abdullah bin Abdul Muthalib. Inilah bulan di mana ia akan muncul dan dia adalah Nabi terakhir. Dia akan muncul di negeri kalian yaitu


Haram, dan kemudian ia akan berhijrah ke sebuah negeri yang memiliki bebatuan berwarna hitam, banyak korma, garam dan air yang berlimpah. Jangan sampai kau kedahuluan, wahai pemuda!”

Thalhah berujar:

Ucapannya begitu berkesan di hatiku. Aku segera menghampiri untaku, dan aku letakkan semua perlengkapannya. Aku segera meninggalkan kafilah yang bersamaku, dan aku segera berangkat menuju Mekkah.

Begitu aku tiba di Mekkah, aku bertanya kepada keluargaku: “Apakah ada suatu kejadian setelah kepergian kami di Mekkah ini?”

Mereka menjawab: “Benar, Muhammad bin Abdullah mengaku bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Ibnu Abi Quhafah (maksudnya adalah Abu Bakar) menjadi pengikutnya.”

Thalhah berujar: “Aku mengenal Abu Bakar sebagai orang yang pemurah, penyayang, sopan terhadap orang lain dari kaumnya.”

Dia juga seorang pedagang yang berbudi dan istiqamah. Kami menyukainya, senang bergaul dengannya, karena ia memiliki banyak informasi tentang bangsa Quraisy dan ia hapal benar tentang urutan nasab Quraisy. Aku pun berangkat menemuinya dan bertanya kepadanya: “Apakah benar apa yang dibicarakan orang bahwa Muhammad bin Abdullah diutus sebagai Nabi, dan engkau menjadi pengikutnya?” Ia menjawab: “Benar.” Kemudian ia mengisahkan kepadaku ceritanya dan ia mengajakku untuk masuk Islam bersamanya. Aku juga memberitahukan kepadanya tentang cerita Rahib, kemudian ia terkejut dan berkata: “Mari ikut dengan saya untuk menemui Muhammad agar engkau dapat meneceritakan hal ini kepadanya, dan juga agar engkau dapat mendengarkan langsung apa yang ia sabdakan. Dan semoga engkau akan masuk ke dalam agama Allah.”

Thalhah berujar: “Maka akupun berangkat bersama Abu Bakar untuk menemui Muhammad dan Beliau menawarkan agar aku masuk Islam. Ia juga membacakan kepadaku beberapa ayat Al Qur’an. Dan Beliau memberikan kabar kepadaku akan kebaikan dunia dan akhirat.”

Rupanya Allah Swt berkenan untuk melapangkan dadaku untuk menerima Islam. Aku pun menceritakan kepadanya kisah Rahib Bushra. Maka terlihatlah rona keceriaan di wajah Beliau.

Lalu aku menyatakan keislamanku dihadapan Beliau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Mulai saat itu aku menjadi orang keempat yang masuk Islam karena ajakan Abu Bakar.

Berita keislaman pemuda ini bagaikan petir menyambar yang memekakan telinga keluarga dan kerabatnya.

Salah seorang keluarganya yang paling merasa sedih akan keislamannya adalah ibunya. Ibunya berharap kepada kaumnya agar dapat memalingkan Thalhah dari budi pekerti baik yang diajarkan Islam.

Kaumnya segera menemui Thalhah agar ia mau kembali kepada agamanya. Namun kaumnya mendapati diri Thalhah yang tegar dan tidak pernah berubah.

Begitu mereka merasa lelah untuk membujuknya, maka mereka melakukan penyiksaan terhadap dirinya.

Mas’ud bin Kharasy berkisah: “Saat aku sedang melakukan sa’I antara Shafa dan Marwa, aku melihat ada sekelompok orang yang sedang menggiring seorang pemuda dimana kedua tangannya diikatkan ke leher. Mereka semua berlari-lari kecil di belakang pemuda tadi. Mereka mendorong punggungnya, dan memukuli kepalanya. Di belakang pemuda tadi terdapat seorang wanita tua yang terus-menerus mencaci dan berteriak kepadanya.”

Aku bertanya: “Apa gerangan yang terjadi atas pemuda itu?!”

Mereka menjawab: “Ini adalah Thalhah bin Ubaidillah. Dia telah keluar dari agamanya dan menjadi pengikut seorang keturunan Bani Hasyim!”

Aku bertanya lagi: “Lalu siapa wanita tua yang berada di belakangnya?” Mereka menjawab: “Dia adalah Sa’bah binti Al Hadhramy, ibu pemuda tersebut.”
Kemudian Naufal bin Khuwailid yang dikenal dengan Asad Quraisy (Singa Quraisy) menghampiri Thalhah bin Ubaidillah kemudian ia mengikat Thalhah dengan seutas tambang. Naufal juga mengikat tangan Abu Bakar As Shiddiq. Keduanya dibawa oleh Naufal untuk digiring dan diserahkan kepada para orang-orang jahil Mekkah agar supaya keduanya disiksa seberat-beratnya.

Oleh karenanya Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Bakar As Shiddiq dipanggil sebagai Al Qarinain (Dua orang yang digiring).