Al Bara’ Bin Malik Al Anshary Bagian 1

  • Home
  • Al Bara’ Bin Malik Al Anshary Bagian 1
“Janganlah Kalian Tunjuk Al Bara’ Menjadi Amir dalam Pasukan Muslimin, Karena Dikhawatirkan Ia Dapat Mencelakakan Tentaranya karena Ingin Terus Maju” (Umar Bin Khattab)


Rambutnya berantakan. Badannya kurus. Tulangnya kecil. Gesit dan sulit dilihat.

Akan tetapi meski demikian ia berhasil membunuh 100 orang musyrik dalam sekali perang, selain orang-orang yang berhasil dibunuhnya dalam perang-perang yang diikutinya bersama para pejuang.

Dia adalah orang yang gagah berani dan pantang mundur, demikian tulis Umar dalam sebuah surat yang ia tujukan untuk para pembantunya: “Janganlah ia ditunjuk sebagai pimpinan pasukan muslimin karena khawatir mereka semua terbunuh karena maju terus.”

Dialah Al Bara’ bin Malik Al Anshary, saudara Anas bin Malik pembantu Rasulullah Saw.

Jika aku paparkan semua kisah kepahlawanan Al Bara’ bin Malik pasti akan membutuhkan banyak ruang dan halaman; karenanya aku hanya akan menceritakan satu kisah saja dari kepahlawanannya yang dapat memberikan gambaran kepadamu tentang kisah kepahlawanannya yang lain.

Kisah ini dimulai saat Rasulullah Saw wafat dan kembali ke pangkuan Tuhannya, saat beberapa kabilah Arab keluar dari agama Allah secara berbondong, seperti saat mereka masuk ke agama tersebut secara berbondong. Sehingga yang tersisa hanyalah para penduduk Mekkah, Madinah,Thaif dan beberapa kelompok di sana-sini yang Allah tetapkan hatinya untuk terus beriman.

Abu Bakar As Shiddiq tetap tegar menghadapi fitnah yang merebak ini. Ia tegar bagai gunung kokoh yang tak bergeming. Ia menyiapkan 11 pasukan yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Beliau juga menyiapkan 11 panji yang masing-masing dibawa oleh panglima pasukan tadi. Ia mengutus ke sebelas pasukan tadi ke seluruh penjuru Arab untuk mengembalikan mereka yang murtad kepada jalan petunjuk dan

kebenaran, dan untuk menggiring orang-orang yang sesat menuju jalan yang lurus lewat sabetan pedang.

Kaum murtad yang paling kuat dan banyak pasukannya adalah Bani Hanifah yang menjadi para pendukung Musailamah Al Kadzab. Saat itu Musailamah didukung oleh kaum dan sekutunya yang berjumlah 40 ribu orang pejuang. Kebanyakan dari mereka mendukungnya karena fanatisme dan bukannya karena beriman kepadanya. Sebagian dari mereka mengatakan: “Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah pembohong dan Muhammad adalah benar. Tetapi pembohong yang berasal dari suku Rabi’ah lebih kami sukai daripada orang yang benar berasal dari suku Mudhar.”

Musailamah berhasil mengalahkan dan memukul mundur pasukan pertama kaum muslimin yang dikirimkan kepadanya di bawah komando ‘Ikrimah bin Abi Jahal.

Lalu Abu Bakar mengirimkan pasukan muslimin kedua kepada Musailamah di bawah komando Khalid bin Walid dimana pasukan tersebut dipenuhi dengan para tokoh Anshar dan Muhajirin. Salah satu dari mereka adalah Al Bara’ bin Malik Al Anshary, dan banyak lagi para patriot pemberani dari kaum muslimin.

Kedua pasukan bertemu di daerah Al Yamamah di Najd. Hanya sebentar saja maka pasukan Musailamah dan pendukungnya terlihat unggul. Bumi yang dipijak oleh pasukan muslimin terasa berguncang saat itu. Kaum muslimin mulai bergerak mundur dan terjepit. Sehingga para pendukung Musailamah dapat menyusup ke tenda induk Khalid bin Walid. Mereka mencabut tali dan tiang tenda tersebut, bahkan mereka hampir saja membunuh istri Khalid kalau saja tidak ada seorang dari pasukan muslimin yang melindunginya.

Ketika itu kaum muslimin merasakan bahaya yang begitu besar. Mereka menyadari bahwa bila mereka sampai kalah oleh Musailamah maka Islam tidak akan berdiri tegak lagi dan Allah Swt tidak akan pernah disembah lagi di jazirah Arab.

Khalid langsung bangkit menuju pasukannya. Ia memulai mengatur kembali pasukannya. Ia mendahulukan kaum Muhajirin di pasukan depan dan Anshar di belakang. Dan ia menempatkan orang-orang badu’i di barisan tersebut.

Khalid juga mengumpulkan anak-anak yang berasal dari satu bapak dengan satu panji agar ia dapat mengetahui musibah yang menimpa setiap

regu dalam peperangan ini, dan juga agar ia tahu dari sisi mana kaum muslimin di serang.

Maka terjadilah perang di antara dua kubu yang begitu hebatnya. Kaum muslimin belum pernah menjalani peperangan yang begitu dahsyat seperti ini sebelumnya. Kaum Musailamah telah berdiri dengan congkaknya di medan perang seolah mereka bagai gunung yang tak bergeming dan mereka seolah tidak peduli akan banyaknya korban yang mereka terima…

Dan kaum muslimin saat itu didukung oleh para pahlawan yang bila dikumpulkan dalam tulisan maka akan menjadi sebuah kisah kepahlawanan yang amat menarik.

Terdapat di sana Tsabit bin Qais pembawa panji Al Anshar yang telah menyiapkan peralatan kematian, kain kafan dan menggali sendiri kuburan untuk dirinya. Ia masuk ke dalam lobang yang digalinya tersebut sehingga mencapai separuh dari betisnya. Ia berdiri tegap dalam posisinya itu. Ia berjuang mempertahankan panji kaumnya sehingga ia binasa dan menjadi syahid.

Adalagi Zaid bin Khattab saudara Umar bin Khattab ra yang menyeru pasukan muslimin: “Wahai semua manusia, gigitlah kuat-kuat geraham kalian, seranglah musuh kalian dan terus maju pantang mundur… Wahai semua manusia, Demi Allah aku tidak akan berkata apapun lagi setelah ini sehingga Musailamah dapat dikalahkan atau hingga aku berjumpa Allah dan aku akan bersaksi dihadapannya… Kemudian ia mulai menyerang musuh dan terus berperang sehingga tewas.

Ada juga Salim budak Abu Hudzaifah yang membawa panji kaum Muhajirin. Kaumnya khawatir akan kelemahan fisik dan rasa takut yang dimilikinya, sehingga kaumnya berkata kepada Salim: “Kami khawatir kita akan diserang dari arahmu.” Salim menjawab: “Jika kalian diserang musuh dari arahku, maka seburuk-buruknya penjaga Al Qur’an adalah aku.” Kemudian Salim menyerang para musuh Allah dengan begitu beraninya, sehingga ia tewas.

Akan tetapi semua pahlawan tadi masih kalah dibandingkan kisah kepahlawanan Al Bara’ bin Malik ra.