Tsabit Qais Al Anshary Bagian 1

  • Home
  • Tsabit Qais Al Anshary Bagian 1
“Tidak Ada Wasiat Yang Boleh Diberikan Setelah Kematian Pemilik Hartanya Kecuali Wasiat Tsabit Bin Qais”


Tsabit bin Qais Al Anshary adalah seorang pemuka suku Khajraj yang terpandang. Dan ia juga salah seorang pemuka kota Yatsrib.

Lebih dari itu ia adalah orang yang memiliki akal yang cerdas, berpikiran cerdas, pandai berbicara, dan bersuara lantang. Jika ia berbicara, maka ia akan mengalahkan semua lawan bicaranya. Jika ia berkhutbah, maka ia mampu untuk menyihir para pendengarnya.

Dia adalah salah seorang penduduk Yatsrib yang lebih dahulu masuk Islam. Karena begitu ia mendengar ayat-ayat Dzikrul Hakim (Al Qur’an) yang dibacakan oleh seorang da’I muda dari Mekkah yang bernama Mus’ab bin Umair dengan suara dan intonasinya yang tenang, bacaan tersebut membuat telinganya tertegun mendengarkan keindahan susunannya. Hatinya terpaut dengan kehebatan penjelasannya. Sanubarinya terenggut oleh semua petunjuk dan syariat yang ada di dalamnya.

Maka Allah Swt melapangkan dada Tsabit untuk menerima iman, kemudian Ia meninggikan posisi dan sebutan namanya dengan mengajak diri Tsabit untuk bergabung di bawah panji Nabi Al Islam.

Begitu Rasulullah Saw tiba di Madinah sebagai seorang muhajir, Tsabit bin Qais menyambut Beliau bersama dengan serombongan besar penunggang kuda dari kaumnya dengan sebuah penyambutan yang mulia. Tsabit menyambut Rasul dan Abu Bakar dengan cara yang paling indah. Tsabit lalu berkhutbah dengan begitu cakap dihadapan Rasul Saw yang ia mulai dengan memuji Allah dan shalawat serta salam kepada Nabi-Nya… kemudian ia menutup khutbahnya dengan berkata: “Kami berjanji kepadamu, ya Rasulullah untuk melindungi dirimu sebagaimana kami melindungi diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami. Apa balasannya bagi kami?”

Rasul Saw lansung menjawab: “Balasannya adalah surga.”

Begitu kata ‘surga’ hinggap di telinga mereka, maka menjadi cerialah wajah mereka karena merasa bahagia, dan mereka berkata:“Kami rela, ya Rasulullah… Kami rela, ya Rasulullah!”

Sejak saat itu Rasulullah Saw menjadikan Tsabit bin Qais menjadi khatib Beliau, sebagaimana Beliau juga menjadikan Hassan bin Tsabit sebagai penyair Beliau.

Maka jika Rasul Saw kedatangan para utusan bangsa Arab untuk mengajak Rasul Saw bertanding dengan bahasa Arab yang fashih lewat para orator dan penyair mereka, maka Rasulullah Saw akan meminta Tsabit bin Qais untuk berhadapan dengan para orator tadi, sedangkan Hassan bin Tsabit untuk menghadapi para penyairnya.

Tsabit bin Qais adalah seorang yang memiliki iman yang mendalam, memiliki ketaqwaan yang sesungguhnya. Amat takut kepada Tuhannya. Amat khawatir terhadap segala hal yang dapat mendatangkan murka Allah Swt.

Rasulullah Saw pernah mendapatinya suatu hari sedang ketakutan dengan dadanya yang gemetar. Rasul Saw bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi denganmu, wahai Abu Muhammad (pent. Panggilan Tsabit bin Qais)?” Ia menjawab: “Aku takut kalau aku binasa, ya Rasulullah.” Rasul bertanya: “Memangnya kenapa?” Ia menjawab: “Allah Swt telah melarang kita untuk suka dipuji atas apa yang belum kita perbuat. Dan aku mendapati diriku adalah orang yang suka dipuji. Ia juga melarang kita untuk sombong, dan aku mendapati diriku adalah orang yang terlalu percaya diri.”

Rasul terus berusaha untuk menenangkan kesedihan Tsabit sehingga Beliau bersabda: “Ya Tsabit, apakah engkau tidak rela bila engkau akan hidup mulya, mati sebagai syahid dan masuk surga?”

Maka berserilah wajah Tsabit dengan kabar gembira ini, ia langsung berkata: “Tentu aku rela, ya Rasulullah… Tentu aku rela, ya Rasulullah!”

Rasulullah Saw bersabda: “Engkau akan mendapatkannya.”

Saat firman Allah Swt turun yang berkenaan tentang diri Tsabit dan berbunyi:




“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al- Hujurat [49] : 2)

Tsabit langsung menghindari majlis Rasulullah Saw –meskipun ia amat cinta kepada Beliau- ia terus berada di rumahnya sehingga ia hampir tidak pernah meninggalkan rumah tersebut kecuali untuk menunaikan shalat berjamaah.

Rasul Saw merasa kehilangan Tsabit dan Beliau bersabda: “Siapa yang dapat membawa kabar tentang Tsabit kepadaku?”

Salah seorang dari suku Anshar: “Saya yang akan melakukannya, ya Rasulullah!”

Maka orang tersebut mendatangi rumah Tsabit dan mendapati Tsabit sedang berada di dalam rumah sambil bersedih dan menundukkan kepalanya. Orang Anshar tersebut bertanya kepada Tsabit: “Apa kabar, wahai Abu Muhammad?” Tsabit menjawab: “Kabar buruk.”

Orang Anshar tadi bertanya: “Mengapa demikian?” Tsabit menjawab: “Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang bersuara keras. Seringkali suaraku melewati suara Rasulullah Saw, sedangkan Al Qur’an telah menurunkan ayat tentang hal ini sebagaimana engkau ketahui. Aku menduga bahwa seluruh amalku telah terhapus dan aku termasuk ahli neraka.”

Orang Anshar tersebut kembali menemui Rasulullah Saw dan menceritakan kepada Beliau apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Maka Rasul Saw bersabda: “Pergi dan temuilah dia dan katakan padanya bahwa engkau bukanlah ahli neraka akan tetapi engkau ahli surga.”

Dan inilah kabar gembira terhebat yang pernah didengar oleh Tsabit yang senantiasa ia harapkan semasa hidupnya.

Tsabit bin Qais turut serta dalam setiap peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw selain Badr. Ia menyeburkan dirinya di medan perang demi mencari syahadah sebagaimana yang telah dijanjikan Rasulullah Saw kepadanya. Akan tetapi ia selalu tidak menemukannya, padahal jaraknya dengan kematian sudah amat dekat.

Hingga terjadilah peperangan melawan kemurtadan antara pasukan muslimin dan Musailamah Al Kadzzab pada masa Abu Bakar As Shiddiq ra.

Pada perang tersebut Tsabit bin Qais menjadi amir pasukan suku Anshar, Salim budak Abu Hudzaifah menjadi amir pasukan suku Muhajirin sedangkan yang menjadi panglima pasukan adalah Khalid bin Walid. Ia menjadi panglima pasukan atas semua golongan baik Anshar, Muhajirin maupun orang-orang badui.