Begitu keduanya tiba di Habasyah maka mereka menemui para pemuka agama dan memberikan kepada masing-masing pemuka agama hadiah. Tidak ada seorang pun dari para pemuka agama tadi yang tidak mendapatkan hadiah dari keduanya. Kedua utusan tersebut berkata kepada pemuka agama:
“Ada beberapa budak bodoh kami yang berlindung di negara raja. Mereka telah keluar dari agama bapak dan kakek moyang mereka dan keluar dari kaumnya. Jika kami berbicara kepada raja kalian tentang para budak ini, maka beritahukanlah raja kalian untuk menyerahkan budak- budak ini kepada kami tanpa perlu menanyakan agama mereka. Karena para pemimpin suku mereka amat mengerti tentang kondisi para budak ini dan paham apa yang sedang mereka anut.” Para pemuka agama tadi pun mengatakan: “Ya.”
Ummu Salamah berkata: “Tidak ada yang lebih kami benci dari Amr dan sahabatnya daripada saat An Najasy memanggil salah seorang dari kami untuk mendengarkan pembicaraannya.
Kemudian keduanya menghadap An Najasy dan memberikan hadiah kepadanya. An Najasy amat senang dengan hadiah itu. Keduanya lalu berbincang dengan An Najasy seraya mengatakan:
“Wahai raja, di negeri telah berlindung beberapa budak-budak negeri kami yang amat nakal. Mereka datang ke sini membawa agama yang tidak kami ketahui sebagaimana engkau tidak mengetahuinya. Mereka meninggalkan agama kami namun tidak masuk ke dalam agamamu… Kami di utus untuk menghadapmu oleh orang tua mereka, paman mereka, keluarga mereka agar engkau berkenan memulangkan budak-budak ini kepada mereka, dan mereka adalah manusia yang paling tahu akan fitnah yang telah dibuat oleh budak-budak ini.”
An Najasy lalu melihat ke arah para pemuka agama, dan para pemuka agama itu mengatakan: “Keduanya benar, wahai raja! Kaum mereka lebih tahu dan paham akan apa yang telahg di perbuat oleh para budak ini. Maka kembalikanlah para budak ini kepada mereka biar mereka sendiri yang memutuskannya!” Lalu murkalah sang raja dengan ucapan para pemuka agama ini, ia berkata kepada mereka: “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan menyerahkan mereka kepada siapapun sehingga aku memanggil mereka semua, dan menanyakan kepada mereka apa yang dituduhkan kepada mereka. Jika mereka benar, seperti apa yang dikatakan oleh kedua orang ini, maka aku akan menyerahkannya. Jika mereka tidak demikian, maka aku akan memberi perlindungan bagi mereka dengan sebaik- baiknya.
Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian An Najasy mengutus seseorang untuk memanggil kami dan menghadapnya. Lalu kami berkumpul sebentar sebelum berangkat menghadapnya. Sebagian dari kami ada yang berkata: “Raja akan menanyakan agama kalian, maka katakanlah terus terang apa yang kalian anut. Biarkan yang menjadi juru bicaranya adalah Ja’far bin Abi Thalib, dan jangan ada yang bicara selainnya.”
Ummu Salamah mengisahkan: “Kemudian kami berangkat untuk menghadap An Najasy dan kami dapati bahwa ia juga telah mengundang para pemuka agama. Mereka semua duduk di samping kanan dan kiri An Najasy. Mereka semua mengenakan Tayalisah dan menghiasi kepala mereka dengan peci. Mereka pun tak lupa membuka kitab dihadapan mereka. Kami juga melihat ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah di dekat raja.”
Begitu kami sudah ada di majlis, An Najasy melihat ke arah kami dan bertanya: “Apakah agama yang baru kalian anut sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian juga tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku, juga tidak masuk suatu agama pun yang diketahui manusia?”
Lalu majulah beberapa langkah ke arah An Najasy, seseorang yang bernama Ja’far bin Abi Thalib yang berkata: “Wahai raja, Kami dulunya adalah kaum jahiliah yang menyembah berhala dan memakan bangkai. Kami melakukan perbuatan keji dan memutuskan tali silaturahmi. Kami adalah kaum yang suka mengganggu tetangga. Yang kuat diantara kami akan memangsa mereka yang lemah. Kami hidup terus-menerus seperti itu sehingga Allah Swt mengutus seorang Rasul kepada kami yang kami kenal nasab, kejujuran, amanah dan harga dirinya…
Ia mengajak kami untuk kembali ke jalan Allah; agar kami mau mengesakan dan menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang pernah kami dan kakek moyang kami sembah selain Allah dari bebatuan dan berhala…
Rasul ini memerintahkan kami untuk berkata jujur dan menunaikan amanat. Ia juga menyuruh kami untuk menghubungkan silaturahmu dan bertetangga dengan baik. Menolak diri dari perbuatan haram dan pertumpahan darah. Ia juga melarang kami untuk mengerjakan perbuatan keji dan ucapan dosa. Memakan harta anak yatim dan menuduh wanita yang terhormat.
Rasul tadi memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah Swt dan agar kami tidak melakukan kemusyrikan terhadap-Nya. Kami juga diperintahkan untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa Ramadhan… kami meyakininya dan kami beriman kepadanya. Kami mengikuti Rasul tadi dengan apa yang diwahyukan kepadanya dari sisi Allah. Maka kami menjalankan apa yang halal, dan kami menolak apa yang haram.
Maka tidak ada lain yang dilakukan oleh kaum kami sendiri kecuali melakukan penyiksaan terhadap kami. Mereka menyiksa kami dengan begitu sadis agar mereka dapat menguji kesetiaan kami kepada agama ini dan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala.
Saat mereka semakin aniaya dan menindas kami. Mereka juga mempersempit ruang gerak kami. Mereka juga menghalangi kami untuk melakukan ibadah agama ini. Maka kamipun keluar dari tanah air menuju negeri mu, dan kami berharap perlindunganmu serta tidak akan dianiaya di bawah kekuasaanmu.”
Ummu Salamah berkata: “An Najasy melihat Ja’far bin Abi Thalib dan bertanya: “Apakah ada yang kalian bawa dari apa yang disampaikan oleh Nabi kalian dari sisi Allah?” Ja’far menjawab: “Ya.” An Najasy berkata: “Bacakanlah kepadaku!” Maka Ja’far pun membacakan:
“Kaaf Haa Yaa 'Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tetang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya zakariya. yaitu tatkala ia berdo'a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata:"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalalu telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku…” (QS. Mayram [19] :1-4)
sehingga Ja’far membaca hingga bagian tertentu dari surat tersebut.