Zaid bin Haritsah Bagian 2

  • Home
  • Zaid bin Haritsah Bagian 2
Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun firman Allah Swt:


“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)

Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah.

Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia memilih Muhammad daripada ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu

bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya.

Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam pembangunan kerajaan yang besar ini.

Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah adalah Dzat Yang Memiliki anugerah yang amat besar.

Hal itu karena tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran. Maka Zaid bin Haritsah adalah manusia pertama yang beriman kepadanya dari kalangan pria.

Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang berlomba untuk mendapatkannya?!

Zaid bin Haritsah adalah orang yang dipercaya untuk menyimpan rahasia Rasulullah. Ia juga adalah orang yang ditunjuk sebagai panglima delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota tersebut.

Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti ini.

Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan:

“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”

Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin. Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai), dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya

Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari orang yang disayang Rasulullah.

Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari kekasihnya.

Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan terbunuh.

Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, karena tidak ada utusannya yang lain sampai terbunuh.

Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari 3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk menjadi pemimpin pasukan ini adalah kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi pemimpin.”

Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania. Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu jauh dari tempat pasukan muslimin berada.

Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil.

Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita tunggu perintah Beliau.”

Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. Akan tetapi kita berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan… atau mati sebagai syahid.”

Kemudian bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit.

Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya, sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya, sehingga ia menyusul sahabatnya tadi.

Lalu panji tersebut diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia mempertahankan panji tersebut dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya berakhir seperti kedua sahabatnya.

Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak.

Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk memberikan bela sungkawa.

Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya.

Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?” Beliau Saw menjawab: “Ini adalah tangisan seorang kekasih atas kekasihnya.”