Ketika Rasulullah mulai berdakwah dalam ranah public, para kepala suku Quraisy menghadangnya. Berbagai cara dilakukan, diantaranya adalah menyiksa anggota sukunya jika beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam budaya masyarakat Arab, ada yang dinamakan Dhimmah, yaitu anggota suku akan melindungi anggota suku lainnya, terutama kepala sukunya. Sehingga hal ini merupakan salah satu pelanggaran adat.
Banyak kepala suku Quraisy yang berhasil menghalangi anggota sukunya untuk tidak memeluk Islam. Namun sebagian besar dari mereka gagal menghalangi anak-anak mereka sendiri untuk memeluk Islam.
Anak-anak kepala suku Quraisy ini justru banyak yang memeluk Islam karena kecerdasannya. Mereka adalah anak bangsawan yang cerdas, yang dididik dengan didikan yang baik dan berkualitas.
Diantara suku yang cukup terkenal adalah Bani Amir. Bani Amir merupakan keturunan Amir bin Lu’ay. Bani Amir bertemu Nasabnya dengan Nabi Muhammad di Lu’ay. Sedikit saya akan menjelaskan Nasab bani Amir hingga bertemu Nabi.
Lu’ay merupakan orang yang memiliki banyak anak, diantaranya Amir dan Ka’ab. Bani Amir adalah anak cucu nya Amir bin Lu’ay. Sedangkan Ka’ab memiliki anak bernama Murrah, Murrah memiliki anak bernama Kilab, Kilab memiliki anak bernama Qusay. Qusay memiliki anak bernama Abd Manaf, Abd Manaf memiliki anak bernama Hasyim, Hasyim memiliki anak bernama Syaibah (Abd Muthollib), Abd Muthollib memiliki anak bernama Abdullah, Abdullah memiliki anak bernama Muhammad SAW. Itulah sepintas relasi Bani Amir dan Rasulullah.
Pemimpin Bani Amir saat itu adalah Suhail bin Amr, seorang orator ulung yang paling disegani. Kemampuan orasi nya yang luar biasa mengagumkan hingga dia dijuluki “Khotibi Quraisy“. Bahkan dialah yang menginisiasi sekaligus menandatangani perjanjian Hudaibiyah sebagai Perwakilan dari Quraisy. (Perjanjian Hudaibiyah akan dijelaskan selanjutnya).
Seluruh Bani Amir taat kepadanya, kecuali kedua putranya, Abdullah dan Abu Jandal. Abdullah adalah seorang yang pemberani, tidak segan-segan mengungkapkan pendapatnya yang dianggap benar. Bahkan dia berani membangkang kepada ayahnya dan ikut berperang bersama kaum Muslimin dalam Perang Badr. Sedangkan Abu Jandal merupakan tipikal orang
yang sopan dan taat. Tapi dia tetap berani mengungkapkan bahwa dia juga seorang Muslim. Bedanya, dia rela dipenjara oleh ayahnya karena dia tidak ingin membangkang ayahnya. Ketika ditanya oleh ayahnya mengapa mereka memeluk Islam dan belajar darimana, mereka menjawab.
“Kami belajar dari Engkau wahai Ayahku. Dulu ketika kami kecil, engkau selalu berkata bahwa Muhammad Adalah orang yang Jujur, namun mengapa sekarang tiba-tiba engkau berkata bahwa dia seorang pendusta? Jika perkataanmu tentang Muhammad kemarin itu benar, maka hari ini engkau berdusta. Jika hari ini engkau yang benar, maka kemarin engkau berdusta. Aku percaya kepada Muhammad karena aku yakin engkau bukan Pendusta” - Abdullah bin Suhail bin Amr
Itulah kecerdasan seorang pemuda Bangsawan Quraisy yang bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Sang Ayah pun sebenarnya mengetahui bahwa Muhammad adalah orang yang jujur, namun karena kesombongan yang ada dalam hatinya dan kekhawatiran akan hilangnya otoritas terhadap kaumnya, maka dia tidak mengakuinya.