Amr Bin Al Jamuh Bagian 1

  • Home
  • Amr Bin Al Jamuh Bagian 1
“Orang Tua yang Bertekad Menginjak Surga dengan Kakinya yang Pincang”


Amr bin Jamuh adalah salah seorang pembesar Yatsrib pada zaman jahiliah. Dia juga merupakan pemuka Bani Salamah. Dia juga terkenal sebagai salah satu tokoh Madinah yang penderma dan memiliki kehormtan diri tinggi.

Salah satu kebiasaan para pembesar pada masa jahiliah adalah bahwa masing-masing dari mereka harus membuat sebuah berhala di rumahnya; agar ia mendapat keberkahan dari berhala tersebut setiap pagi dan petang. Pada waktu musim-musim tertentu mereka juga harus menyembelih hewan untuk dikorbankan kepada berhala tadi, dan juga agar berhala- berhala tersebut dapat menjadi pelindung mereka pada saat-saat bahaya dan sempit.

Berhala milik Amr bin Jamuh diberi nama dengan Manat yang ia buat dari kayu yang bagus. Amr adalah tokoh yang amat perhatian terhadap berhala ini dibandingkan tokoh yang lain. Ia menjaganya dan memberikan wewangian terbaik bagi berhala ini.

Amr bin Jamuh sudah menginjak usia 60 tahun saat cahaya iman menerangi rumah-rumah penduduk Yatsrib dengan gerakan dakwah yang dilakukan oleh Mus’ab bin Umair. Dari tangannya telah masuk ke dalam Islam tiga orang anak Amr bin Jamuh yang bernama: Muawwadz, Muadz dan Khallad. Ada juga teman sebaya mereka yang masuk ke dalam Islam bernama Muadz bin Jabal.

Bersama ketiga anaknya, telah masuk Islam juga istrinya yang bernama Hindun. Dan Amr bin Jamuh tidak tahu bahwa mereka semua telah beriman.

Hindun, Istri Amr bin Jamuh melihat bahwa kebanyakan penduduk Yatsrib telah memeluk Islam; dan tidak ada seorang pembesar Madinah pun yang tetap berada dalam kemusyrikan selain suaminya dan beberapa orang yang mengikutinya.

Istrinya berharap agar Amr bin Jamuh mati dalam keadaan kafir dan masuk ke dalam neraka.
Dan Amr bin Jamuh sendiri khawatir apabila anak-anaknya meninggalkan agama nenek moyang mereka dan mengikuti dakwah yang
dibawa Mus’ab bin Umair yang telah berhasil mengeluarkan banyak manusia dari agama mereka dalam waktu yang singkat, dan memasukkan mereka ke dalam agama Muhammad.

Amr bin Jamuh lalu berkata kepada istrinya: “Ya Hindun, jagalah anak- anakmu agar tidak berjumpa dengan pria itu (maksudnya Mus’ab bin Umair) sehingga kita memutuskan apa yang mesti kita lakukan terhadap orang ini.” Istrinya menjawab: ‘Baik kalau begitu. Akan tetapi apakah engkau bersedia mendengar langsung dari anakmu Muadz apa pendapatnya tentang orang ini?” Amr berkata: “Celaka kamu! Apakah Muadz telah keluar dari agamanya dan aku tidak mengetahui hal ini?” Istrinya yang shalihah ini lalu berkata dengan lemah lembut kepada suaminya yang sudah menua: “Tidak, akan tetapi ia pernah ikut beberapa majlis yang digelar oleh orang ini, dan ia ingat akan beberapa hal yang diucapkan oleh orang ini.” Lalu Amr berkata: “Panggilah dia untuk menghadapku...!” Saat Muadz datang dihadapannya, Amr berkata kepadanya: “Ceritakan kepadaku apa yang telah dikatakan oleh orang (Mus’ab bin Umair) ini!” Maka Muadz langsung membacakan:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sang Pemilik Hari Pembalasan. Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kepada kami jalan yang lurus. Jalan yang Kau berikan nikmat kepada mereka, bukanlah jalan yang Kau murkai dan bukanlah jalan orang-orang yang sesat.”

Lalu Amr berkata: Alangkah indahnya ucapan ini?! Apakah semua pembicaraannya seperti ini?!” Muadz menjawab: ‘Bahkan lebih indah dari ini, wahai ayahku. Apakah engkau mau mengikutinya. Semua kaummu telah bersumpah setia kepada Mus’ab bin Umair!” Amr yang telah tua berdiam diri sejenak lalu berkata: “Aku tidak akan melakukannya hingga aku meminta pendapat kepada Manat dan aku akan melihat apa yang akan dikatakannya.” Maka Muadz berkata: “Apa yang dapat diucapkan oleh Manat, wahai ayahku. Dia hanyalah sebuah kayu yang tuli. Tidak dapat berpikir dan berbicara!”

Lalu Amr bin Jamuh datang menghadap Manat. Kebiasaan mereka kaum jahiliah adalah jika ingin berbicara dengan berhala mereka berdiri di belakang seorang wanita tua, sehingga wanita tua tadi akan memberikan jawaban seperti yang diilhamkan oleh para berhala –dalam dugaan mereka-, kali ini Amr berdiri tegak lurus di hadapan Manat. Ia bertumpukan pada kakinya yang sehat, kaki Amr yang satunya lagi amat pincang. Amr memuji Manat dengan pujian terindah, lalu berkata: “Ya Manat, tidak disangsikan bahwa kau telah mengetahui orang yang datang dari Mekah dan berdakwah di negeri kita. Tiada yang ia kehendaki selain keburukan saja... ia datang ke sini untuk menghalangi kami dari menyembahmu. Aku tidak mau bersumpah setia kepadanya –meski aku mendengarkan betapa indah ucapannya- hingga aku bersyuwarah terlebih dahulu kepadamu. Berilah pendapatmu kepadaku!” Namun Manat tidak berkata sepatah katapun kepada Amr.

Lalu Amr berkata: “Mungkin engkau telah murka... Aku tidak akan melakukan apapun yang dapat membahayakanmu setelah ini. Akan tetapi tidak menjadi masalah, aku akan membiarkanmu sendiri dalam beberapa hari ini hingga amarahmu menjadi reda.”

Anak-anak Amr bin Jamuh mengerti betapa ayah mereka begitu cinta kepada berhalanya yang bernama Manat. Dan kecintaan tersebut semakin bertambah dengan berjalannya waktu. Akan tetapi mereka menyadari bahwa ayah mereka mulai ragu akan kehebatan Manat dalam hatinya. Dan mereka juga sadar bahwa mereka harus mengubah pengaruh Manat ini dari hati ayahnya, dan itulah cara satu-satunya menuju iman.

Pada suatu malam, anak-anak Amr bin Jamuh bersama Muadz bin Jabal mendatangi Manat. Mereka membawa Manat dan memasukkannya ke dalam sebuah lubang di Bani Salamah tempat mereka membuang sampah. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing tanpa ada seorang pun yang mengetahui ulah mereka. Begitu pagi datang menjelang, Amr pergi dengan langkah pasti untuk memberikan salam kepada berhalanya, namun sayang kali ini ia tidak menjumpainya. Ia langsung berseru: “Celaka kalian, siapa yang telah berani berlaku nista kepada tuhan kita malam tadi?!...” Tidak ada seorang pun yang mengaku.