Al Harits berangkat hingga tiba di kampun Umair bin Sa’d. Ia bertanya dimana alamatnya, lalu ia ditunjukkan oleh seseorang.
Saat Al Harits menjumpainya, ia berkata: “Assalamu’alaika wa rahmatu-Llahi. Umair menjawab: Wa alaikas salam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Dari mana engkau datang?” Al Harits menjawab: “Dari Madinah. Umair bertanya: “Bagaimana kondisi muslimin di sana saat kau meninggalkan mereka?” Al Harits menjawab: “Mereka baik-baik saja.” Umair bertanya: “Bagaimana kabar Amirul Mukminin?” Al Harits menjawab: “Ia sehat dan shalih.” Umair bertanya: “Bukankah ia menegakkan hukum hudud?” Al Harits menjawab: “Benar, Ia pernah mendera anaknya yang melakukan dosa keji.” Umair berkata: “Ya Allah, tolonglah Umar. Yang aku ketahui tentangnya adalah bahwa ia adalah orang yang amat mencintai-Mu!”
Al Harits menjadi tamu Umair bin Sa’d selama 3 malam. Setiap malam, Umair menghidangkan sepotong roti gandum.
Pada hari ketiga; ada seorang dari kaum Umair berkata kepada Al Harits: “Engkau telah merepotkan Umair dan keluarganya. Mereka tidak memiliki apapun kecuali roti gandum yang mereka berikan kepadamu meski mereka sendiri tidak memakannya. Kelaparan telah mengancam hidup mereka. Jika kau berkenan, menginaplah di tempatku!”
Saat itu, Al Harits mengeluarkan kantung dinar dan memberikannya kepada Umair. Umair bertanya: “Apa ini?” Al Harits menjawab: “Itu dikirimkan untukmu oleh Amirul Mukminin.” Umair berkata: “Kembalikan kepadanya, sampaikan salamku padanya dan katakan padanya bahwa Umair tidak membutuhkan dinar tersebut!”
Tiba-tiba istri Umair berteriak –rupanya ia mendengarkan pembicaraan suaminya dengan si tamu- ia berkata: “Ambillah, ya Umair. Jika kau membutuhkannya engkau dapat memberi nafkah dari uang itu. Jika kau tidak membutuhkannya, maka engkau akan dapat menyalurkannya. Banyak orang yang membutuhkan di daerah ini.”
Begitu Al Harits mendengar ucapan istri Umair, Al Harits menaruh uang dinar tersebut di depan Umair dan lalu pergi. Lalu Umair mengambil uangdinar tersebut dan ia bagikan dalam kantung-kantung kecil. Ia tidak tidur pada malam itu sebelum ia membagikan semuanya kepada orang yang membutuhkan, khususnya para anak syuhada.
Al Harits kembali ke Madinah, dan Umar bertanya kepadanya: “Apa yang kau dapat, ya Harits?” Ia menjawab: “Kondisi yang amat sulit, wahai Amirul Mukminin!” Umar bertanya: “Apakah kau berikan dinar-dinar itu kepadanya?” Ia menjawab: “Ya, wahai Amirul Mukminin!” Umar bertanya lagi: “Lalu apa yang ia perbuat dengan uang dinar tadi?” Ia menjawab: “Aku tidak tahu. Aku menduga ia tidak akan menyisakan 1 dirham pun untuk dirinya.
Lalu Umar mengirimkan surat kepada Umair yang berbunyi: “Jika suratku ini telah datang kepadamu, janganlah kau letakan sebelum kau datang kepadaku!”
Umair bin Sa’d berangkat ke Madinah dan menghadap kepada Amirul Mukminin. Umar menyambutnya dan berkata kepadanya: “Apa yang kau perbuat dengan uang dinar itu, ya Umair?” Ia menjawab: “Apa urusanmu, ya Umar.” Umar berkata: “Aku berkeras untuk mengetahui apa yang telah kau lakukan dengan uang dinar itu?” Ia menjawab: “Aku telah menabungnya untuk diriku agar ia bermanfaat bagiku di hari tiada harta dan keturunan yang akan memberi manfaat…”
Maka meneteslah air mata Umar. Ia berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah termasuk orang yang mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Kemudian Umar memerintahkan agar Umair diberi makan dan 2 helai baju.
Umair berkata: “Kami tidak memerlukan makanan, wahai Amirul Mukminin. Aku telah menyisakan 2 sha’ gandum buat keluargaku. Jika 2 sha’ tadi habis maka Allah Swt akan memberikan rizqi lagi kepada kami… Sedangkan baju, akan aku ambil untuk Ummu Fulan (maksudnya adalah istrinya) bajunya sudah rusak dan hampir saja ia telanjang.
Tidak lama berselang setelah perjumpaan itu antara Umar al Faruq dan sahabatnya, sehingga Allah Swt mengizinkan Umair bin Sa’d untuk menyusul Nabi dan kekasihnya Muhammad bin Abdullah Saw setelah kerinduan yang lama ia simpan untuk berjumpa dengannya.
Umair berangkat menyusuri jalan akhirat dengan meninggalkan dirinya, ia berjalan dengan langkah pasti, ia tidak merasa terbebani dengan segala macam permasalahan dunia, dan punggungnya tidak dibebani dengan hiruk-pikuk dunia.
Tidak ada yang ia bawa selain cahaya, petunjuk, wara dan taqwa…
Saat Umar Al Faruq berta’ziah, wajahnya diliputi dengan kesedihan, dan duka menghiasi hatinya. Ia berkata: “Aku amat berharap memiliki orang seperti Umair bin Sa’d untuk menjadi pembantuku dalam menangani urusan kaum muslimin.”
Semoga Allah meridhai Umair bin Sa’d. Dia adalah seorang tauladan yang harus ditiru dari sekian banyak orang. Ia juga merupakan seorang
murid yang istimewa dalam asuhan Rasulullah Muhammad bin Abdullah Saw.