Maka terkadang Bilal yang melakukan Adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang membacakan Iqamat. Terkadang juga Ibnu Ummi Maktum yang Adzan, dan Bilal yang beriqamat.
Bilal dan Ibnu Ummu Maktum juga memiliki tugas lain saat bulan Ramadhan. Kaum muslimin Madinah akan melakukan sahur apabila salah seorang dari mereka melakukan adzan, dan mereka akan berimsak saat satunya lagi mengumandangkan adzan kedua.
Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari untuk membangunkan manusia. Sedangkan Ibnu Ummi Maktum bertugas untuk memperhatikan datangnya fajar, dan ia tidak pernah keliru melakukannya.
Rasulullah Saw begitu memulyakan Ibnu Ummi Maktum sehingga pernah Beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai penggantinya untuk menjaga Madinah lebih dari 10 kali, salah satunya adalah saat Rasulullah Saw berangkat untuk menaklukkan kota Mekkah.
Setelah usai perang Badr, Allah menurunkan beberapa ayat Al Qur’an yang memuji para mujahidin, dan memulyakan orang yang berjihad daripada orang yang tidak berangkat agar memberikan stimulasi kepada para mujahid tadi, dan mengecam orang yang tidak berangkat. Hal itu membuat Ibnu Ummi Maktum menjadi kecil hati karena tidak bisa mendapatkan kemulyaan ini. Ia pun berkata: “Ya Rasulullah, bila aku mampu berjihad, maka pasti aku akan melakukannya.” Kemudian Abdullah bin Ummi Maktum berdo’a kepada Allah dengan hati yang khusyuk agar Ia berkenan menurunkan ayat tentang orang sepertinya yang kekurangan dirinya menghalangi mereka untuk melakukan jihad. Ia berdo’a dengan begitu khusyuknya: “Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku… Ya Allah, turunkanlah ayat atas ketidakmampuanku!”
Maka Allah dengan begitu cepatnya langsung menjawab do’a Abdullah bin Ummi Maktum.”
Zaid bin Tsabit, penulis wahyu bagi Rasulullah Saw mengisahkan: “Saat itu aku sedang bersama Rasulullah Saw dan Beliau tiba-tiba hilang kesadaran. Maka paha Beliau di taruh di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan ada paha yang seberat paha Rasulullah Saw. Kemudian Beliau tersadarkan sebentar lalu bersabda: “Tuliskan, Ya Zaid!” Maka aku pun menuliskan: “Tidak sama orang mukmin yang duduk (tidak berangkat) dengan orang yang berjuang di jalan Allah.”
Lalu Ibnu Ummi Maktum berdiri seraya berkata: “Bagaimana dengan orang yang tidak mampu berjihad?” Belum juga ia usai meneruskan ucapannya, maka Rasulullah Saw hilang kesadaran lagi. Lalu pahanya diletakkan di pahaku. Maka aku merasakan berat yang sama pada saat ketika pertama kali. Kemudian ia tersadarkan diri, lalu bersabda: “Bacakan apa yang telah kau tulis, ya Zaid!” Akupun membacakan: “Tidak sama orang mukmin yang duduk…” lalu Beliau bersabda: “Tuliskan ‘Selain orang yang memiliki uzur”
Maka turunlah pengecualian sebagaimana yang diharapkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum.
Meski Allah Swt telah memberikan maaf kepada Abdullah bin Ummi Maktum dan kepada orang-orang yang sepertinya dalam berjihad, namun ia tidak rela membiarkan dirinya berdiam diri dengan orang-orang yang tidak berangkat. Ia malah bertekad untuk berjihad di jalan Allah Swt.
Hal itu dikarenakan jiwa yang besar tidak akan pernah puas kecuali apabila melakukan pekerjaan-pekerjaan yang besar.
Sejak saat itu ia bertekad tidak akan pernah ketinggalan perang. Ia telah menentukan tugasnya sendiri di medan peperangan. Ia berseru: “Tempatkan aku diantara dua barisan dan berikan kepadaku panji agar aku yang membawanya dan menjaganya untuk kalian! Sebab aku buta dan tidak mampu berlari.”
Pada tahun 14 H, Umar bertekad untuk menyerang Persia dengan sebuah peperangan yang dapat mengalahkan mereka, meruntuhkan kerajaan Persia dan membuka jala bagi tentara muslimin. Ia menuliskan sebuah surat kepada para pembantunya yang berbunyi:
“Jika ada orang yang memiliki senjata, kuda, pertolongan atau pendapat maka pilihlah mereka dan bawalah mereka menghadapku! Segera!”
Maka kaum muslimin memenuhi panggilan Umar al Faruq, dan mereka berdatang ke Madinah sehingga memenuhi semua penjurunya. Salah seorang dari mereka adalah seorang buta yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum.
Umar ra menunjuk pemimpin pasukan besar ini adalah Sa’d bin Abi Waqash. Sebelum berangkat Umar memberikan wasiatnya kepada pasukan muslimin, kemudian melepas mereka.
Begitu pasukan ini tiba di Al Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum mengenakan baju besinya juga perlengkapan perang lainnya. Ia rela membawakan panji kaum muslimin dan berjanji untuk menjaganya hingga mati.
Kedua pasukan bertemu dan berperang selama 3 hari dengan begitu hebatnya. Keduanya saling menyerang dengan sangat dahsyat sehingga belum pernah ada sejarah penaklukan yang dialami kaum muslimin sehebat ini. Sehingga pada hari ketiga kaum muslimin mendapatkan kemenangan telak. Maka jatuhlah sebuah bangsa yang begitu besar saat itu, dan dikibarkanlah panji tauhid di negeri berhala. Dan sebagai harga pembelian kemenangan ini, gugurlah ratusan syahid dan salah satu dari para syuhada itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia ditemukan telah tewas dengan berlumuran dara dan ia masih menggenggam panji pasukan muslimin.