Abu Darda (Uwaimar bin Malik Al Khajrajy) Bagian 1

  • Home
  • Abu Darda (Uwaimar bin Malik Al Khajrajy) Bagian 1
“Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf)


Uwaimar bin Malik Al Khajrajy yang disebut dengan Abu Darda bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum terbaik berasal dari tokonya. Kemudian ia memakaikan pakaian pada berhala tersebut yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.

Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya untuk pergi ke toko.

Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad. Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda tersebut tentang kabar Abdullah bin Rawahah. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab: “Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.” Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.

Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar Abdullah bin Rawahah, karena ia tahu bahwa semua manusia terkait dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua. Hal itu dikarenakan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya.

Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka berdua. Karena Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang musyrik.

Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya. Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya.

Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah sahabatnya Abu Darda karena ia menginginkan suatu hal…

Begitu Abdullah sampai di rumah tersebut, ia melihat pintu rumah terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya, sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya. Ummu Darda kemudian membiarkan Abdullah sendirian karena ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.

Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda menaruh berhalanya. Kemudian ia keluar dengan membawa berhala tadi. Ia menghampiri berhala tersebut dan mulai memotong-motongnya sambil berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil? Bukankah setiap yang disembah selain Allah adalah batil?”

Begitu ia selesai memotong-motong berhala tersebut, ia pun meninggalkan rumah itu.

Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati bagian tubuh berhala tersebut sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul- mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”

Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya

menjawab: “Ketika engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”

Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala tersebut telah hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. Akan tetapi tidak berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada dirinya.”

Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda menyatakan masuk Islam, dan ia adalah orang terakhir dari kampungnya yang masuk Islam.

Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya.

Ia amat menyesal karena telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah.

Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh- sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.

Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia mendalami pemahamannya akan Al Qur’an.

Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.

Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku adalah seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan perdagangan dan aku memilih ibadah.

Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” Kemudian ia menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, akan tetapi aku lebih menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”

Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya.