Salman Al Farisi Bagian 1

  • Home
  • Salman Al Farisi Bagian 1
“Kalau Saja Iman Berada di Bintang, Pasti Akan Dicapai Oleh Orang- Orang Ini” (Diucapkan Rasulullah Saw Sambil Meletakkan Tangannya pada Tubuh Salman)


Kisah kita kali ini adalah kisah seseorang yang berusaha mencari hakikat, mencari Allah Swt. Ini adalah kisah Salman Al Farisi ra.

Kita akan membiarkan Salman Al Farisi bercerita tentang kisahnya sendiri. Sebab saat mengalami kisah tersebut, perasaannya begitu hidup dan penyampaiannya akan terasa lebih jujur dan lengkap.

Salman berkata: “Aku adalah seorang pemuda dari Persia penduduk Isfahan dari sebuah kampung yang akrab dikenal dengan Jayyan. Ayahku adalah kepala kampung dan merupakan orang yang paling kaya dan terhormat disana. Aku adalah manusia yang paling ia cintai sejak aku lahir. Kecintaannya semakin bertambah kepadaku hari demi hari sehingga ia mengurungku di dalam rumah karena merasa khawatir terhadapku. Aku dipingit seperti layaknya seorang gadis.

Dengan sungguh-sungguh aku menganut agama Majusi, sehingga aku ditunjuk sebagai penyala api yang kami sembah. Aku dipercaya untuk menyulutnya sehingga tidak boleh padam sesaat pun baik pada waktu malam maupun siang.

Ayahku memiliki sebuah lahan yang besar yang memberi kami hasil yang banyak. Ayah selalu mengawasinya, dan memetik hasilnya. Pada suatu ketika ayahku memiliki kesibukan lain sehingga ia tidak bisa datang ke lahannya. Ia berkata: “Wahai anakku, Aku ada kesibukan lain sehingga tidak bisa mengawasi perkebunan kita. Pergilah ke sana dan awasilah kebun kita hari ini sebagai penggantiku!” Aku pun berangkat untuk melihat kebun kami. Begitu aku sudah berada di sebuah jalan, aku melewati sebuah gereja kaum Nashrani. Aku mendengar suara mereka dari luar saat mereka sedang melakukan kebaktian. Hal itu telah menarik perhatianku.

Aku tidak pernah tahu sedikitpun tentang kaum Nashrani atau agama lainnya karena begitu lama ayah memingitku agar tidak berinteraksi

sesama manusia. Saat aku mendengar mereka, aku pun masuk mendatangi mereka untuk melihat apa yang sedang mereka kerjakan.

Saat aku merenungi apa yang mereka lakukan, aku menjadi tertarik dengan kebaktian yang mereka laksanakan, dan aku ingin masuk ke dalam agama mereka. Aku berkata:

“Demi Allah, ini lebih baik dari agama yang kami anut. Demi Allah, aku tidak meninggalkan mereka hingga matahari terbenam. Aku tidak jadi ke kebun milik ayah. Lalu aku bertanya kepada mereka: “Darimana asal agama ini?” Mereka menjawab: “Dari negeri Syam.”

Begitu malam tiba, aku kembali ke rumah dan aku berjumpa dengan ayah yang menanyakan apa yang telah aku lakukan seharian. Aku menjawab: “Ayah, aku berjumpa dengan sekelompok manusia yang sedang melakukan kebaktian di gereja. Aku merasa tertarik begitu mengenal agama mereka. Aku terus bersama mereka hingga matahari terbenam.”

Ayahku langsung sengit dengan apa yang telah aku lakukan sambil berkata: “Hai anakku, dalam agama itu sedikitpun tidak ada kebaikan. Agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari agama itu!”

Aku menjawab: “Tidak. Demi Allah, agama mereka lebih baik dari agama kita.” Maka ayah menjadi khawatir akan apa yang telah aku katakan. Ia khawatir bila aku keluar dari agamaku. Ia memingitku lagi di dalam rumah dengan membuat sebuah ikatan pada kakiku.

Begitu aku memiliki kesempatan, maka aku pergi kepada kaum Nashrani dan aku berkata kepada mereka: “Jika ada rombongan yang datang kepada kalian hendak melakukan perjalanan ke negeri Syam, beritahukanlah kepadaku!”

Tidak lama berselang, maka datanglah sebuah rombongan kepada mereka yang akan menuju ke negeri Syam. Mereka lalu memberitahukan kepadaku hal tersebut. Aku lalu berusaha membuka ikatan kakiku sehingga terlepas. Lalu aku berangkat bersama mereka dengan mengendap-endap hingga kami akhirnya tiba di negeri Syam.

Begitu kami tiba di sana, aku bertanya: “Siapa orang yang paling utama dalam urusan agama ini?” Mereka menjawab: “Dialah Uskup yang memimpin gereja.” Lalu aku mendatanginya sambil berkata: “Aku tertarik dengan agama Nashrani. Aku ingin mendampingi dan membantumu. Aku mau belajar darimu dan melakukan kebaktian bersama penganut Nashrani yang lainnya.”

Ia menjawab: “Masuklah!” dan akupun masuk ke dalam gereja mulai saat itu aku menjadi pembantunya.

Masa terus berlalu, hingga aku mengetahui bahwa orang tersebut sebenarnya adalah orang yang buruk. Ia pernah menyuruh para pengikutnya untuk membayar sedekah dan menjanjikan kepada mereka pahala yang akan mereka dapat jika mereka membayar sedekah tersebut di jalan Allah. Uskup tadi malah menyimpan uang tersebut untuk dirinya sendiri dan tidak pernah diberikan kepada kaum fakir dan miskin sedikitpun juga. Sehingga ia berhasil mengumpulkan 7 bejana besar emas.

Aku menjadi benci sekali saat melihatnya. Tidak lama kemudian ia mati dan orang-orang Nashrani berkumpul untuk menguburnya. Aku katakan kepada mereka: “Sahabat kalian ini adalah orang yang jahat. Ia pernah memerintahkan kalian untuk membayar sedekah dan menjanjikan kepada kalian pahala yang akan diterima. Begitu kalian membayarkannya, ia malah menyimpannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak memberikannya kepada kaum miskin sedikitpun dari harta tersebut.”

Mereka bertanya: “Dari mana engkau tahu hal tersebut?” Aku jawab: “Aku akan menunjukkan kalian tempat penyimpanannya!”

Mereka berkata: “Ya, tunjukkanlah kepada kami!” Maka aku tunjukkan kepada mereka tempat penyimpanannya dan dari tempat tersebut mereka mengeluarkan 7 bejana besar yang dipenuhi dengan emas dan perak. Begitu mereka melihatnya mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya!” Lalu mereka mensalibnya lalu melemparnya dengan batu.

Tidak lama setelah itu, mereka mengangkat seseorang untuk menggantikan posisinya. Maka akupun menjadi pendamping dan pembantunya. Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih zuhud darinya. Tidak ada seorangpun yang mengalahkannya dalam urusan akhirat. Tidak ada yang melewatinya dalam masalah ibadah sepanjang malam dan siang. Aku amat mencintainya. Aku tinggal bersamanya untuk beberapa lama. Saat ia menjelang ajal, aku bertanya kepadanya: “Ya fulan, kepada siapa kau akan mewasiatkan aku. Berilah nasehat kepadaku akan orang yang perlu aku ikuti setelah kau tiada?”