Allah S.W.T menceritakan kepada kita bagaimana keadaan Musa ketika ia pergi untuk menemui janji dengan Tuhannya. Musa ketika berpuasa selama empat puluh malam bermaksud untuk lebih mendekat kepada Tuhannya. Ketika Allah S.W.T berdialog dengannya, maka Musa merasakan cinta yang semakin bergelora kepada Tuhannya. Kami tidak mengetahui perasaan apa yang ada di hati Musa ketika ia meminta kepada Tuhannya agar dapat melihatnya. Seringkali cinta yang ada di dalam manusia mendorong dirinya untuk meminta sesuatu yang mustahil. Lalu bagaimana bayangan Anda terhadap cinta yang berhubungan dengan cinta kepada Allah S.W.T. Ia adalah hakikat cinta. Kedalaman perasaan Nabi Musa kepada Tuhannya dan kecintaannya kepada sang Pencipta, semua ini mendorongnya untuk meminta kepada Allah S.W.T agar dapat melihatnya.
Allah S.W.T berfirman:
"Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: 'Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.'" (QS. al- A'raf: 143)
Demikianlah dorongan cinta dari para pencinta sejati. Musa bertanya dan
meminta kepada Tuhannya sesuatu yang menakjubkan tetapi Allah S.W.T menjawabnya:
"Tuhan berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku." (QS. al-A'raf: 143)
Seandainya Allah S.W.T hanya mengatakan demikian maka ini pun sebagai bentuk keadilan dari-Nya, tetapi keadaan di sini adalah keadaan cinta Ilahi dari Musa. Dorongan cinta yang dibalas dengan dorongan cinta. Demikianlah Nabi Musa mendapatkan rahmat dari Tuhannya. Allah S.W.T memberitahunya bahwa ia tidak akan mampu melihat-Nya karena tak satu pun dari makhluk yang tidak dapat "menangkap cahaya" dari Allah S.W.T. Allah S.W.T memerintahkannya agar melihat gunung, dan jika gunung itu masih menetap di tempatnya maka ia akan dapat melihat Tuhannya.
Allah S.W.T berfirman:
"Tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pengsan. (QS. al-A'raf: 143)
Tiada seorang pun yang dapat "menangkap" cahaya Allah S.W.T. Nabi Musa mengetahui hakikat ini dan menyaksikan sendiri. Ash'aq adalah al-Maut (kematian) atau al-Ighma' (keadaan tidak sadarkan diri atau pengsan). Kami tidak mengetahui bagaimana keadaan yang dialami Nabi Musa ketika ia kehilangan kehidupannya atau kesadarannya.
"Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.'" (QS. al-A'raf: 143)
Para mufasir klasik cukup serius meneliti dan memperbincangkan ayat- ayat ini. Misalnya, mereka bertanya-tanya: bagaimana Nabi Musa meminta kepada Allah S.W.T agar dapat melihat-Nya, padahal ia tahu bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin atau mustahil. Mereka berselisih pendapat dalam hal itu
dan saling adu argumentasi. Mu'tazilah memiliki pendapat yang lain dan Ahlusunah pun memiliki pendapat yang lain lagi. Pokok pembicaraan semuanya berkisar pada: bagaimana seorang nabi tidak mengetahui - padahal ia adalah makhluk Allah S.W.T yang paling dekat dengan-Nya - bahwa melihat Allah
S.W.T adalah hal yang sangat mustahil?
Kami kira bahwa sikap Nabi Musa tersebut menggambarkan puncak cinta dan kedalaman dari hatinya, yang ini merupakan gambaran yang tinggi dari sejarah yang dilalui oleh Nabi Musa. Kita sekarang berada di hadapan puncak cinta kepada Allah S.W.T. Dan seorang pencinta tidak menginginkan selain melihat "wajah" kekasihnya. Menurut logik akal bahwa melihat Allah S.W.T adalah hal yang mustahil, tetapi kapan cinta pernah peduli dengan logik itu. Nabi Musa terdorong untuk mendapatkan pengalaman baru yaitu suatu pengalaman yang kayaknya ia sengaja melakukannya untuk mewakili kita semua. Nabi Musa nekad dan mendorong kita untuk meminta. Ia lebih dahulu merasakan keadaan tidak sadarkan diri dan ia telah membuktikan kepada kita dengan tubuhnya yang mulia dan rohnya yang suci bahwa tak seorang pun dapat "menangkap" cahaya Allah S.W.T. Nabi Musa dalam keadaan tak sadarkan diri lalu ketika bangun ia memuja-muja Allah S.W.T dan bertaubat serta meminta ampun kepadaNya:
"Dia berkata: 'Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau.'" (QS. al-A'raf: 143)
Mengapa Nabi Musa bertaubat? Orang-orang sufi berkata: Ia bertaubat dari dorongan cinta yang besar di mana ia meminta sesuatu yang mustahil, padahal ia menyadari itu adalah mustahil. Ini adalah tafsiran yang memuaskan yang didukung oleh konteks ayat-ayat tersebut. Perhatikanlah ayat-ayat (tanda-kebesaran) Allah S.W.T dan bagaimana Dia mengingatkan Musa terhadap apa-apa yang diterimanya dari berbagai macam nikmat. Allah S.W.T berkata kepada Musa:
"Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku. Sebab itu, berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur. Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): 'Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya.'" (QS. al-A'raf:
144-145)
Ahli tafsir memperhatikan firman Allah S.W.T kepada Musa: "Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku."
Kemudian dilakukanlah perbandingan antara Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain. Dikatakan bahwa pemilihan ini dikhususkan hanya kepadanya dan di zamannya saja, dan tidak berlaku di zaman sebelumnya karena ada Nabi Ibrahim di zaman itu, sedangkan Nabi Ibrahim lebih baik dari Nabi Musa. Begitu juga pemilihan ini tidak berlaku pada zaman setelahnya karena ada Nabi Muhammad bin Abdullah SAW dan ia lebih baik dari mereka berdua.
Kami ingin menghindari perdebatan ini, bukan karena kami percaya bahwa semua nabi sama. Memang Allah S.W.T memberitahu kita bahwa Dia mengutamakan sebagian nabi atau sebagian yang lain dan mengangkat darjat sebagian mereka atau sebagian yang lain, tetapi pengutamaan ini adalah hal yang tidak boleh kita sentuh. Hendaklah kita beriman kepada seluruh nabi dan kita harus menunjukkan penghormatan kita kepada mereka semua. Adalah bukan hal yang sopan jika kita mencoba membanding-bandingkan di antara para nabi. Yang utama adalah, hendaklah kita meyakini dan mengimani mereka semua. Akhirnya, selesailah perjumpaan Musa dengan Tuhannya. Kemudian Nabi Musa kembali kepada kaumnya dalam keadaan marah dan jengkel. Di alam wujud tidak ada seorang manusia yang memiliki kelembutan dan kerelaan hati yang begitu besar seperti Nabi Musa, tetapi ia diberitahu oleh Tuhannya bahwa kaumnya telah menyimpang dari jalannya. Oleh karena itu, ia kembali dalam keadaan marah dan jengkel kepada mereka. Allah S.W.T berfirman:
"Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa: 'Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu, ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku). Allah berfirman: 'Maka sesungguhnya, Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. " (QS. Thaha: 83-86)
Musa turun dari gunung dan membawa papan Taurat. Rasa-rasanya hatinya mendidih dan jengkel. Kita dapat membayangkan bagaimana emosi yang membakar Nabi Musa saat ia mengayunkan langkahnya menuju kaumnya.
Betapa tidak, belum lama Nabi Musa meninggalkan kaumnya dan menemui Tuhannya, mereka mendapatkan fitnah melalui Samiri. Fitnah ini adalah, bahwa Bani Israil - ketika keluar dari Mesir - membawa banyak dari harta perhiasan orang-orang Mesir dan emas-emas mereka. Mereka mengambilnya untuk mereka memanfaatkan dalam pesta perayaan mereka. Kemudian mereka selamat karena mukjizat pembelahan lautan di mana lautan menenggelamkan Fir'aun dan tentaranya sehingga harta mereka yang berupa emas dimiliki oleh Bani Israil.
Harun mengetahui bahwa emas tersebut bukan milik mereka lalu Harun memintanya dari mereka dan menimbunnya di tanah. Bani Israil tidak memerlukannya karena saat ini mereka sedang tersesat. Mereka berjalan di tengah-tengah gurun sehingga tidak bermanfaat bagi mereka emas- emas itu. Harun, saudara kandung Musa, menggali tanah dan meletakkan emas-emas itu lalu menimbunkan di atasnya tanah. Samiri melihat apa yang dilakukan oleh Harun. Setelah itu, dia mengeluarkannya dan membuat sebuah patung sapi yang menyerupai sapi Ibis sesembahan orang-orang Mesir. Samiri adalah seorang pemahat yang mahir. Dia mampu membuat anak sapi yang menarik di mana ketika dia meletakkannya di arah angin maka akan masuk darinya udara dari celah bagian belakangnya lalu keluar dari hidungnya. Samiri membuat suara yang menyerupai suara sapi yang sebenamya.