Al Thufail Bin ‘Amr Al Dausy Bagian 1

  • Home
  • Al Thufail Bin ‘Amr Al Dausy Bagian 1
“Allahumma Ij’alhu Ayatan Tu’inuhu Ala Ma Yanwi Minal Khair (Ya Allah Berikanlah Untuknya Satu Tanda Kekuasaan yang Dapat Membantunya Mengerjakan Kebaikan yang Telah Ia Niatkan.” (Salah Satu Do’a Rasul Saw Untuknya)


Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy adalah pemimpin kabilah ‘Daus’ pada masa jahiliah. Dia adalah salah satu sosok pemuka Arab yang berpengaruh, dan salah seorang tokoh yang terhormat…

Tungku tidak pernah diturunkan dari perapian baginya, dan tidak ada pintu yang tertutup baginya…

Ia gemar memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang ketakutan dan melindungi orang yang memohon perlindungan.

Ditambah lagi dia adalah sosok yang beradab, cerdas dan pintar. Ia adalah seorang penyair yang memiliki perasaan yang peka dan lembut. Dia amat mengerti dengan manis dan pahitnya pembicaraan… sehingga kalimat yang diucapkannya mengandung bobot magis bagi yang mendengarnya.

Al Thufail meninggalkan rumah tinggalnya di Tihamah menuju Mekkah. Kala itu pergumulan masih terus berlangsung anyara Rasulullah Saw dengan para kafir Quraisy. Masing-masing pihak membutuhkan pendukung dan sahabat…

Rasul Saw berdo’a kepada Tuhannya dan yang menjadi senjata Beliau adalah keimanan dan kebenaran. Sedang kafir Quraisy menentang dakwah Rasul dengan segala jenis senjata, dan mereka berusaha menghalangi manusia dari Beliau dengan cara apapun.

Al Thufail mendapati dirinya telah berada dalam peperangan itu tanpa persiapan apapun dan ia turut serta di dalamnya tanpa sengaja…

Ia tidak datang ke Mekkah dengan tujuan ini, dan tidak ada dalam benaknya urusan Muhammad dan Quraisy.

Dari sini maka dimulailah sebuah hikayat yang tak pernah terlupa bagi Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; Mari kita simak kisah ini, karena ia adalah sebuah kisah yang aneh.

Al Thufail mengisahkan: “Aku tiba di Mekkah. Begitu para pemimpin Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan mereka menyambutku dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan diriku dengan begitu terhormat.

Lalu para pemimpin dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya Thufail. Engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang disini yang mengaku bahwa ia adalah seorang Nabi yang telah merusak urusan dan mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami. Kamikhawatir ia dapat mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau berbicara dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari pembicaraannya; sebab ia memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang dapat memisahkan seorang anak dari ayahnya, dan seorang saudara dari saudaranya, dan seorang istri dari suaminya.”

Al Thufail berkata: “Demi Allah, mereka terus saja menceritakan kepadaku tentang keanehan kisah Muhammad. Mereka membuat diriku dan kaumku menjadi takut dengan keajaiban perilaku Muhammad. Sehingga akupun bertekad untuk tidak mendekat kepadanya, dan untuk tidak berbicara atau mendengar apapun darinya.

Saat aku datang ke Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil berkah dengan para berhala yang ada di sana sebagaimana kami melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan berhala-berhala tadi, akupun menutup telingaku dengan kapas karena khawatir telingaku mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad.

Akan tetapi bagitu aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati ia sedang berdiri melakukan shalat dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang biasa kami lakukan. Ia melakukan ibadah bukan seperti ibadah yang biasa kami kerjakan. Aku senang melihat pemandangan ini. Aku menjadi tercengang dengan ibadah yang dilakukannya. Aku mulai mendekat kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga aku begitu dekat dengannya…

Kehendak Allah berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya yang hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik. Dan aku berkata dalam diri sendiri: “Celaka kamu wahai Thufail… engkau adalah seorang yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang diucapkan orang ini… Jika yang dibawa olehnya adalah kebaikan maka akan aku terima, jika itu adalah keburukan maka akan aku tinggalkan.”

Al Thufail masih mengisahkan: “Kemudian aku masih terdiam sehingga Rasulullah Saw kembali ke rumahnya. Aku mengikuti Beliau dan begitu ia masuk ke dalam rumahnya, akupun turut masuk. Aku berkata: “Ya Muhammad, kaummu telah menceritakanmu kepadaku bahwa kamu begini dan begitu. Demi Allah, mereka terus-menerus membuatku khawatir dari mu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengarkan ucapanmu. Kemudian kehendak Allah berkata lain, sehingga aku mendengar sebagian dari ucapanmu, dan aku mengaggap hal itu adalah baik… maka ceritakanlah urusanmu padaku…!

Beliau menceritakan urusannya kepadaku. Beliau juga membacakan untukku surat Al Ikhlas dan Al Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih baik daripada ucapan Beliau. Dan aku tidak pernah melihat urusan yang lebih lurus daripada urusannya.
Pada saat itu, aku bentangkan tanganku kepadanya, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan akupun masuk Islam.

Al Thufail berkata: “Aku tinggal beberapa lama di Mekkah untuk mempelajari Islam dan aku selama itu aku menghapal beberapa ayat Al Qur’an yang mudah bagiku. Begitu aku berniat kembali ke kampungku aku berkata: “Ya Rasulullah, Aku adalah seseorang yang dipatuhi di keluargaku. Saat ini aku mau kembali kepada mereka dan menjadi penyeru mereka kepada Islam. Berdo’alah kepada Allah agar ia memberikan aku sebuah tanda kekuasaan-Nya yang dapat menjadi penolongku dalam berdakwah kepada mereka. Maka Rasul langsung berdo’a: “Allahumma ij’al lahu ayatan (Ya Allah jadikanlah untuknya sebuah tanda kekuasaan).”

Aku pun mendatangi kaumku, sehingga jika aku tiba di sebuah tempat yang tinggi di sekitar rumah mereka maka turunlah sebuah cahaya di antara kedua mataku seolah sebuah lampu. Aku pun berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah ia bukan pada wajahku, sebab aku khawatir mereka menduga bahwa ini adalah hukuman yang ditimpakan ke wajahku karena aku meninggalkan agama mereka… maka cahaya tadi bergeser dan turun ke pegangan cambukku. Maka para manusia yang ada saat itu mencoba untuk melihat cahaya tadi yang berada di cambukku seolah lampu yang tergantung. Dan aku datang menghampiri mereka dari lembah. Begitu aku turun ayah menghampiriku –Beliau saat itu sudah amat renta- Aku berkata: “Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau bukan milikku.” Ia bertanya: “Mengapa begitu, wahai anakku?”