“Umair bin Sa’d Menangisi Dirinya.” (Umar bin Khattab)
Dalam Masa Belianya
Bocah bernama Umair bin Sa’d Al Anshary telah merasakan hidup sebagai yatim dan orang miskin sejak kecilnya. Ayahnya telah kembali ke pangkuan Tuhan tanpa meninggalkan harta atau orang yang akan membiayainya.
Namun ibunya berhasil untuk menikah lagi dengan seorang hartawan dari suku Aus yang dikenal dengan Al Julas bin Suwaid. Pria ini kemudian menanggung biaya hidup Umair dan menjadikan ia sebagai anggota keluarga.
Umair merasakan kebaikan, asuhan dan perasaan lembut yang dimiliki Al Julas sehingga membuatnya terlupa bahwa dia adalah seorang yatim.
Umair mencintai Al Julas seperti ayahnya sendiri. Sebagaimana Al Julas mencintai Umair seperti layaknya seorang anaknya.
Semakin Umair bertambah dewasa, maka Al Julas semakin cinta kepadanya. Sebab Al Julas mendapati bahwa Umair memiliki tanda-tanda kecerdasan dan kemulyaan yang terlihat dari setiap amalnya. Ia juga memiliki sifat amanah, jujur yang terlihat dari prilakunya.
Pemuda yang bernama Umair memeluk Islam pada saat ia masih belia belum genap 10 tahun. Iman merasuk ke dalam sebuah ruang di hatinya dan tidak berlari dari tempatnya. Ia juga mendapati Islam dalam jiwanya yang masih suci dan bersih. Meski masih dalam usia belia, namun ia tidak pernah absen dari shalat berjamaah di belakang Rasulullah Saw. Ibunya merasa bahagia setiap kali melihatnya pergi ke Masjid atau kembali darinya. Terkadang bersama suaminya, terkadang ia berangkat sendiri saja.
Beginilah kehidupan pemuda Umair berlangsung; tenang tanpa ada halangan dan tidak ada kekeruhan. Sehingga kehendak Allah menentukan bahwa bocah yang hampir baligh ini akan mendapatkan cobaan yang paling berat, dan memberikannya ujian yang jarang diterima oleh seorang pemuda dalam usianya.
Pada tahun 9 H, Rasulullah Saw mengumumkan niatnya untuk menyerang Romawi di Tabuk. Beliau memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap-siap.
Kebiasaan Rasulullah Saw adalah jika Beliau hendak melakukan perang, Beliau tidak akan menceritakannya. Manusia menduga bahwa Rasulullah Saw akan menuju suatu arah yang sebenarnya bukan itu yang dimaksud. Kecuali dalam perang Tabuk. Dalam perang ini, Rasul menceritakan niatnya kepada seluruh manusia karena jauhnya jarak, beratnya penderitaan, dan kuatnya musuh agar manusia semuanya mengerti akan tugas mereka. Agar mereka dapat mempersiapkan dengan baik tugas ini.
Meskipun musim panas telah datang, cuaca panas terik terasa, buah- buahan telah masak, bayangan telah sempurna dan jiwa manusia menjadi malas dan tak mau bergerak. Meski demikian kaum muslimin memenuhi seruan Nabi mereka dan langsung bersiap-siap.
Namun sebagian kaum munafikin membuat tekad kaum muslimin melemah, membuat mereka ragu, dan menjelek-jelekkan Rasulullah Saw dan mengucapkan kata-kata yang dapat menjerumuskan mereka dalam kekufuran.
Pada suatu hari ketika pasukan muslim akan berangkat, pemuda yang bernama Umair bin Sa’d kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan shalat di Masjid. Hatinya dipenuhi dengan sekumpulan kisah menarik dari pengorbanan kaum muslimin yang ia lihat dengan matanya dan ia dengar lewat telinganya.
Ia melihat para wanita kaum Muhajirin dan Anshar yang datang menghadap Rasulullah Saw lalu melepaskan dan memberikan perhiasan mereka kepada Rasulullah untuk membayar biaya pasukan yang berperang di jalan Allah Swt.
Dan ia melihat dengan mata kepalanya bahwa Utsman bin Affan membawa sebuah kantung yang berisikan 1000 dinar emas dan diberikan kepada Nabi Saw.
Ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa di atas lehernya 100 awqiyah dari emas dan diberikan kepada Rasulullah Saw.
Bahkan ia juga melihat seorang pria yang menjual kudanya untuk dibelikan pedang sehingga ia dapat berjuang di jalan Allah.
Maka Umair bin Said menjadi amat kagum dengan peristiwa tersebut, dan ia merasa aneh mengapa Al Julas tidak bersegera untuk siap dan
berangkat bersama Rasulullah Saw, dan mengapa ia terlambat memberikan bantuan padahal ia adalah orang yang mampu dan memiliki keluasan.
Maka Umair berusaha untuk membangkitkan semangat Al Julas dan memotivasinya. Umair menceritakan kisah tentang apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Khususnya kisah beberapa orang muslimin yang datang menghadap Rasul Saw dan meminta Beliau agar mengizinkan mereka untuk bergabung dengan pasukan muslimin berjihad di jalan Allah. Namun Rasul menolak permintaan mereka sebab mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali dengan mata berlinang karena merasa sedih sebab mereka tidak menemukan harta yang dapat mewujudkan keinginan mereka untuk berjihad, dan mewujudkan impian mereka untuk mendapatkan kesyahidan.
Akan tetapi Al Julas setelah ia mendengarkan pembicaraan Umair, maka meluncurlah dari mulut Al Julas yang membuat heran Umair saat Umair mendengarnya mengucapkan: “Jika Muhammad benar sebagaimana pengakuannya bahwa dia adalah seorang Nabi, bila demikian maka kita adalah lebih buruk dari keledai.”
Umair kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak pernah mendengar bahwa seseorang yang berakal dan dewasa seperti Al Julas keluar dari mulutnya kalimat yang dapat mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari keimanan dengan serta-merta, dan memasukkannya dalam kekafiran.
Sebagaimana alat hitung canggih dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dilontarkan kepadanya, maka akal Umair bin Sa’d berpikir segera untuk mengerjakan apa yang semestinya ia lakukan.
Ia menduga bahwa berdiam diri dari apa yang dikatakan Al Julas lalu menutupinya adalah sebuah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, juga dapat mencelakai Islam sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum munafik.