Ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar.
Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan.
Maka pamannya meminta bantuan kepada kaumnya untuk menghadapi dirinya. Maka mereka langsung memberikan ancaman dan rayuan kepadanya. Dan ia pun berkata kepada mereka: “Lakukanlah segala yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad, meninggalkan penyembahan batu dan berpaling ke arah penyembahan kepada Allah Yang Esa dan Maha Perkasa! Terserah kepada kalian sendiri”
Maka serta-merta pamannya mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja.
Berangkatlah pemuda Al Muzani ini untuk berhijrah demi menyelamatkan agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya. Ia pergi meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan ia bermain-main sewaktu kecil. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah Swt.
Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya.
Begitu ia hampir tiba di Yatsrib maka ia merobek bajunya sehingga menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya lagi ia jadikan pakaian.
Kemudian ia menuju masjid Rasulullah Saw dan menginap di sana pada malam itu.
Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi Saw. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi Saw dari kamar Beliau.
Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi Saw, maka melelehlah air mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari dadanya untuk memberikan tahiyat dan salam kepada Beliau.
Begitu shalat telah selesai dikerjakan, Nabi Saw –sebagaimana biasa- memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau melihat pemuda Al Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!”
Kemudia Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!”
Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama Abdullah.
Dan para sahabat Rasul Saw memberinya gelar dengan Dzul Bijadain setelah mereka melihat bijadaih dan mereka tidak mau menceritakannya.
Maka Bijadaih ini lebih terkenal dalam sejarah dari pada gelar yang diberikan kepadanya.
Janganlah Anda menanyakan –wahai pembaca yang budiman-tentang kebahagiaan Dzul Bijadain saat ia menjadi orang yang tinggal di bawah asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia turut serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia.
Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat yang ia cari lewat jalan apa saja:
Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a karena takut kepada Allah).
Ia mencari akhirat dengan Al Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al Qur’an di seluruh penjuru masjid Rasulullah Saw.
Ia juga mencari akhirat dengan cara berjihad. Dan ia tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Rasulullah Saw agar berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rasul Saw mendo’akan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafin.
Maka ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau mati, maka engkau pun syahid karenanya.”
Tidak berselang satu hari dan satu malam sejak pembicaraan ini sehingga pemuda Al Muzani tadi terserang penyakit demam yang menyebabkan ia tewas.
Sunguh ia meninggal dalam kondisi berhijrah karena Allah. Berjihad di jalannya. Jauh dari keluarga dan kerabat. Terasing dari kampung halaman.
Dan Allah akan membalas semua itu dengan kebaikan yang terbaik.
Para sahabat yang mulya telah mengantarkan jasadnya ke kubur dengan kaki-kaki mereka yang suci.
Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulya.
Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rasul yang menunggu di bawah kubur adalah Abu Bakar dan Umar, sehingga Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!” Maka keduanya melepaskan tubuh Al Muzani ini hingga sampai ke tangan Rasul Saw.
Dan Abdullah bin Mas’ud berdiri memperhatikan pemandangan semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 tahun lebih dulu darinya.”