Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!” Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang- barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan barang-barang tersebut di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada kalian.
Kemudian dalam jalan yang kami susuri menuju rumah tersebut ada sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih baik daripada yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh karenanya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat melintasinya.” Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga kebaikanmu dibalas.”
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda menolaknya. Abu Darda berkata:
“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya. Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang- orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian adalah saudara seagama, tetangga negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah
diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!! Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad, wahai penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?”
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka terdengar dari luar masjid.
Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang. Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka menjawab: “Dia adalah orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab: “Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela dan pukul dia, akan tetapi berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya: “Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia adalah saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri bahwa dirinya bertaubat.
Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata: “Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu. Janganlah menjadi orang yang keempat karena engkau akan celaka. Wahai anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat menuju keridhaan Allah.
Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa orang muslim adalah rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu dapat memperdayakan.”
Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa.
Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.” Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”
Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong pintu rumahnya dan rupanya pintu tersebut tidak terkunci. Umar lalu masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu mempersilahkan ia duduk.
Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya.
Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia adalah pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir… Ia meraba selimutnya dan ternyata adalah sebuah kain tipis yang tidak dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus.
Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan (nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu apa yang telah kita lakukan setelah Beliau meninggal, wahai Umar?”
Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis.
Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.
Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an dan hikmah sehingga ia wafat.
Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata: “Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan Tuhanku.”
Kemudian ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus mengucapkan kalimat tersebut sehingga ruhnya berpisah dari badan.
Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!” Kemudian dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata: “Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang belum pernah terbersit dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?” Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, karena ia mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”