Kaum Madyan, kaumnya Nabi Syu'ib, adalah segolongan bangsa Arab yang tinggal di sebuah daerah bernama "Ma'an" di pinggir negeri Syam. Mereka terdiri dari orang-orang kafir tidak mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menyembah kepada "Aikah" iaitu sebidang padang pasir yang ditumbuhi beberapa pohon dan tanam-tanaman. Cara hidup dan istiadat mereka sudah sangat jauh dari ajaran agama dan pengajaran nabi-nabi sebelum Nabi Syu’ib A.S.
Banyak orang di zaman kita beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak semata. Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah S.W.T. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara masalah-masalah tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehidupan dan mengubahnya menjadi adat- istiadat, tradisi-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa. Kisah Nabi Syu’ib menampakkan hal yang demikian secara jelas.
Allah S.W.T mengutus Syu’ib pada penduduk Madyan:
"Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu 'ib. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia.'" (QS. Hud: 84)
Ini adalah dakwah yang sama yang diserukan oleh setiap nabi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu nabi dan nabi yang lain. Ia merupakan dasar akidah dan tanpa dasar ini mustahil suatu bangunan akan berdiri. Setelah peletakan bangunan tersebut, Syu’ib mulai menyuarakan dakwahnya:
"Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Hud: 84)
Setelah menjelaskan masalah tauhid secara langsung, Nabi Syu’ib berpindah pada masalah muamalah sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan keadilan. Adalah hal yang terkenal pada penduduk Madyan bahwa mereka mengurangi timbangan dan mereka tidak memberikan hak-hak manusia. Ini adalah suatu kehinaan yang menyentuh kesucian hati dan tangan sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan kemuliaan.
Para penduduk Madyan beranggapan bahwa mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil dan membeli. Kemudian nabi mereka datang dan mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan hal yang hina dan termasuk pencurian. Nabi Syu’ib memberitahukan kepada mereka bahwa beliau khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu niscaya akan turun kepada mereka azab di mana manusia tidak akan dapat menghindar dari siksaan itu. Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi Syu’ib yang diutus kepada manusia di mana ia memperhatikan persoalan jual-beli dan mengawasinya:
"Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Hud: 85)
Nabi Syu’ib meneruskan misi dakwahnya. Beliau mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka dengan cara yang baik dan mengajak ke jalan yang baik, tidak ke jalan yang buruk; beliau menghimbau kepada mereka untuk menegakkan timbangan dengan keadilan dan kebenaran dan mengingatkan mereka agar jangan merampas hak-hak orang lain. Merampas hak-hak orang lain itu tidak terbatas pada jual-beli saja, namun juga berhubungan dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan dari agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran dan keadilan.
Agama selalu memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama sesama mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang bijaksana dan baik, baik menyangkut hubungan kerja, hubungan peribadi maupun hubungan lainnya. Al-Quran al-Karim mengatakan: "Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. "Dan kata as-Syai' (sesuatu) dalam ayat tersebut diucapkan kepada hal-hal yang bersifat materi dan yang bersifat non-materi (rohani) di mana masuk dalam kategori itu perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang menghasilkan. Al-Quran melarang segala bentuk kezaliman, baik kezaliman berkenaan dengan menimbang buah-buahan atau sayur- sayuran maupun kezaliman dalam bentuk tidak memberikan penghargaan terhadap usaha manusia dan pekerjaan mereka. Sebab, kezaliman terhadap manusia akan menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berakibat pada timbulnya penderitaan, sikap putus asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada akhirnya hubungan sesama manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, Al-Quran mengingatkan agar jangan sampai ada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi:
"Dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu." (QS. Hud: 85-86)
Yang di maksud al-'Atsu ialah sengaja membuat kerusakan dan bertujuan untuk membuat kerusakan. Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi; janganlah kalian sengaja untuk menciptakan keonaran di muka bumi. Apa yang ada di sisi Allah S.W.T adalah hal yang terbaik buat kalian jika kalian benar-benar beriman. Kemudian Nabi Syu’ib memberitahu kepada mereka bahwa ia tidak memiliki sesuatu kepada mereka; ia tidak dapat menguasai mereka tidak juga ia selalu mengawasi mereka. Beliau hanya sekadar seorang rasul atau utusan untuk menyampaikan ajaran Tuhannya:
"Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu. " (QS. Hud: 86)
Dengan cara yang demikian, Nabi Syu’ib menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang mereka hadapi saat ini sangat penting dan sangat serius, bahkan sangat berat. Beliau memberitahu mereka akibat yang bakal mereka terima jika mereka membuat kerusakan. Selesailah bagian pertama dari dialog Nabi Syu’ib bersama kaumnya. Nabi Syu’ib telah mengawali pembicaraan dan kaumnya mendengarkan. Kemudian beliau berhenti dari pembicaraannya dan sekarang kaum membuka pembicaraan:
"Mereka berkata: 'Hai Syu’ib, apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang dan berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal " (QS. Hud: 87)
Para penduduk Madyan yang kafir mereka biasa merampok dan menyembah al-Aikah, yaitu pohon dari al-Aik yang dikelilingi oleh dahan- dahan yang berputar di sekelilingnya. Mereka termasuk orang-orang yang menjalin hubungan sesama manusia dengan cara-cara yang sangat keji. Mereka suka mengurangi timbangan; mereka mengambil yang lebih darinya dan tidak menghiraukan kekurangannya. Perhatikanlah semua itu dalam dialog mereka bersama Syu’ib. Mereka berkata, "wahai Syu’ib apakah agamamu yang memerintahkanmu...?" Seakan-akan agama ini mendorong Syu’ib dan membisikinya serta memerintahnya sehingga ia mentaati tanpa pertimbangan dan pemikiran. Sungguh Syu’ib telah berubah dengan agamanya itu menjadi alat yang bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaan dan tuduhan keji yang dialamatkan oleh kaum Nabi Syu’ib kepadanya. Agama Syu’ib telah membuatnya gila dan membuatnya nekad untuk memerintahkan mereka meninggalkan apa yang selama ini mereka sembah dan disembah oleh kakek-kakek mereka. Kakek-kakek mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan dan pohon- pohonan sementara agama Syu’ib memerintahkan mereka untuk hanya menyembah Allah S.W.T. Kenekatan model apa dari Syu’ib ini?
Dengan ejekan dan penghinaan ini, Nabi Syu’ib menghadapi dialog yang terjadi dengan mereka. Kemudian mereka kembali bertanya-tanya dengan penuh keheranan dan dengan nada mengejek: "Apakah agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak- bapak kami." Tidakkah engkau sadar wahai Syu’ib bahwa agamamu ingin mencampuri keinginan kita dan cara kita menggunakan harta kita? Apakah hubungan keimanan dan salat dengan muamalah materi?
Dengan pertanyaan ini, kaum Nabi Syu’ib mengira bahwa mereka mencapai suatu tingkat kecerdasan. Mereka mengemukakan di hadapannya masalah keimanan, dan mereka mengingkari adanya keterkaitan antara perilaku manusia dan muamalah mereka serta perekonomian mereka. Ini adalah masalah yang klasik; ini adalah usaha untuk memisahkan antara ekonomi dan Islam di mana setiap nabi justru di utus untuknya meskipun nama-nama mereka berbeda-beda; ini adalah masalah kuno yang diungkap oleh kaum Nabi Syu’ib di mana mereka mengingkari bahwa agama turut campur dalam kehidupan sehari-hari mereka, perekonomian mereka dan cara mereka menggunakan harta mereka. Mereka menganggap bahwa menginfakkan harta atau menggunakannya atau menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak berhubungan dengan agama. Hal itu menyangkut kebebasan peribadi manusia. Bukankah itu hartanya yang khusus lalu mengapa agama turut campur di dalamnya?
Demikianlah pemahaman kaum Nabi Syu’ib kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Syu’ib. Kami kira pemahaman demikian sedikit atau banyak tidak berbeda dengan pemahaman banyak masyarakat di zaman kita sekarang mereka menganggap bahwasanya Islam tidak memiliki kaitan dengan kehidupan peribadi manusia dan kehidupan perekonomian mereka. Oleh karena itu, manusia dapat menggunakan harta mereka sesuai dengan kemauan mereka: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal."