“Sang Penakluk Al Ahwaz”
Umar Al Faruq sedang berkeliling pada malam itu di perkampungan Madinah agar para penduduk Madinah dapat tidur menutup kelopak mata mereka dengan perasaan aman dan nyaman.
Saat ia sedang berkeliling di antara rumah dan pasar maka terlintas di benaknya beberapa nama para sahabat Rasulullah Saw yang dapat diminta menjadi komandan pasukan dan berangkat menuju Al Ahwaz untuk menaklukannya. Tidak lama kemudian, Umar berseru: “Aku telah menemukannya… aku telah menemukannya, Insya Allah!”
Keesokan paginya, Umar memanggil Salamah bin Qais Al Asyja’i dan berkata kepadanya: “Aku mengangkatmu untuk menjadi komandan pasukan yang akan berangkat menuju Al Ahwaz. Berangkatlah dengan nama Allah! Perangilah di jalan Allah orang yang kufur terhadap-Nya! Jika kalian telah bertemu dengan musuh dari kelompok musyrikin, maka ajaklah mereka untuk masuk Islam. Jika mereka mau masuk Islam dan lebih memilih untuk tinggal di negeri mereka dan tidak turut-serta bersama kalian dalam memerangi kelompok musyrikin lainnya, maka mereka tidak berkewajiban apa-apa selain membayar zakat, dan mereka tidak mempunyai hak dalam harta fai’.
Jika mereka memilih untuk turut-serta bersama kalian dalam berperang, maka mereka akan mendapatkan jatah fai’ seperti kalian. Mereka juga memiliki kewajiban yang sama seperti kalian.
Jika mereka menolak Islam, maka suruhlah mereka untuk membayar jizyah. Jika mereka telah membayarkannya, maka biarkanlah mereka hidup bebas!
Jagalah mereka dari serangan musuh. Janganlah kalian membebani mereka dari batas kemampuan yang mereka miliki.
J
ika mereka masih menolak, maka perangilah mereka, sebab Allah Swt akan menjadi Penolong kalian dalam menghadapi mereka.
Jika mereka berlindung pada sebuah benteng, kemudian mereka meminta kalian untuk menggunakan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka
janganlah kalian menuruti permintaan mereka. Sebab kalian tidak mengerti apakah hukum Allah dan Rasul-Nya yang sebenarnya.
Jika mereka meminta kalian untuk kembali kepada dzimmah (tanggungan) Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian memberikan dzimmah Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi berikanlah tanggungan kalian saja!
Jika kalian telah menang dalam peperangan, janganlah kalian kelewat batas! Jangan berkhianat! Jangan menganiaya bangkai musuh dan jangan membunuh anak-anak!”
Salamah menjawab: “Kami akan patuh dan mentaatinya, ya Amirul Mukminin!”
Umar lalu melepaskan Salamah dengan kehangatan. Ia menggenggam erat tangan Salamah. Umar pun berdo’a dengan penuh kekhusyukan bagi Salamah.
Umar menyadari betapa berat tugas yang ia berikan kepada Salamah dan kepada para prajuritnya. Hal itu karena Al Ahwaz adalah daerah pegunungan yang amat sukar untuk ditempuh. Memiliki benteng yang kokoh. Terletak antara Bashrah dan perbatasan Persia. Al Ahwaz dihuni oleh para penduduk Kurdi yang gagah perkasa.
Kaum muslimin tidak punya pilihan lain selain harus menaklukan kota tersebut dan menguasainya agar mereka dapat melindungi diri dari serangan bangsa Persia terhadap Bashrah, dan menghalangi pasukan Persia untuk mengambil alih wilayah Bashrah sebagai pangkalan militer Persia sehingga akan mengganggu kesalamatan dan keamanan wilayah Irak.
Salamah bin Qais berjalan di barisan terdepan para prajuritnya untuk berjuang di jalan Allah. Baru saja mereka masuk perbatasan Al Ahwaz, mereka langsung merasakan kekerasan alam dan cuaca Ahwaz.
Para pasukan merasa beban mereka semakin berat saat mendaki pegunungan yang tinggi, mereka juga harus melewati rawa-rawa yang terus mengalir ke pantai.
Disamping itu, mereka juga menghadapi ular-ular serta kalajengking beracun yang terus hidup meski terlihat tertidur.
Akan tetapi semangat Salamah bin Qais yang teguh beriman senantiasa menyemangati para prajuritnya. Sehingga segala kesulitan tadi terasa nikmat, dan segala kesedihan menjadi mudah.
Salamah senantiasa memberikan nasehat kepada pasukannya sehingga membangkitkan kembali semangat mereka. Ia juga mengisi malam-malam mereka dengan keharuman semerbak Al Qur’an. Maka para prajurit merasa mendapatkan sinar Al Qur’an, merasa tentram dengan segala kenikmatan, merasa nyaman meski segala beban dan penderitaan yang mereka alami.
Salamah bin Qais melaksanakan perintah Khalifah. Begitu ia berjumpa dengan penduduk Al Ahwaz, ia langsung menawarkan mereka untuk masuk ke dalam agama Allah. Namun mereka menolak dan berpaling. Salamah menyeru mereka untuk membayar jizyah, mereka menolak dan membangkang.
Pasukan muslimin tidak punya pilihan lain selain melakukan peperangan melawan mereka. Maka mereka pun melakukannya sebagai jihad di jalan Allah, dan mengharap pahala terbaik di sisi Allah.
Terjadilah peperangan yang amat sengit. Kedua pasukan melancarkan serangan yang amat keras yang jarang sekali peperangan sesengit itu terjadi dalam sejarah.
Tidak lama kemudian, usailah peperangan dengan kemenangan berada di pihak muslimin yang berjuang menegakkan kalimat Allah, dan kekalahan di pihak musyrikin sebagai para musuh Allah.
Begitu peperangan usai, Salamah bin Qais segera membagikan harta ghanimah kepada para prajuritnya.
Lalu Salamah menemukan sebuah perhiasan berharga. Ia berkeinginan untuk memberikan perhiasan tersebut kepada Amirul Mukminin. Maka Salamah berkata kepada para prajuritnya: “Perhiasan ini bila dibagikan kepada kalian, maka tidak akan begitu berarti. Apakah kalian mengizinkan bila perhiasan ini kita kirimkan kepada Amirul Mukminin?”
Mereka menjawab: “Baiklah!” Kemudian Salamah meletakkan perhiasan tersebut dalam sebuah kotak kecil. Kemudian ia mengutus seorang prajurit dari kaumnya Bani Asyja’ dan berpesan kepadanya: “Berangkatlah engkau dan budakmu ke Madinah! Beritahukanlah kepada Amirul Mukminin tentang penaklukan ini. Berikanlah perhiasan ini sebagai hadiah kepadanya!”
Pria Asyja’i yang diutus ini memiliki sebuah kisah dengan Umar yang mengandung pelajaran berharga. Kita akan mempersilahkan dia untuk menceritakan kisahnya.
Pria Asyja’i ini berkisah: “Aku dan budakku berangkat menuju Bashrah. Kami lalu membeli dua ekor kendaraan dengan uang yang diberikan oleh Salamah bin Qais kepada kami. Lalu kedua hewan tadi kami isikan dengan semua perbekalan yang dibutuhkan. Lalu kami berangkat menuju Madinah. Sesampainya di sana, aku mencari-cari Amirul Mukminin dan aku dapati ia tengah berdiri sedang memberi makan kepada kaum msulimin dan saat itu ia sedang berdiri dengan berpegang kepada sebuah tongkat seperti seorang gembala. Ia berjalan mengelilingi piring-piring besar sambil berkata kepada budaknya yang bernama Yarfa’: “Ya Yarfa’, tambahkan daging buat mereka. Ya Yarfa’, tambahkan roti buat mereka. Ya Yarfa’, tambahkan sayur buat mereka.”