Abu Thalhah Al Anshary (Zaid Bin Sahl) Bagian 2

  • Home
  • Abu Thalhah Al Anshary (Zaid Bin Sahl) Bagian 2
Bahkan para pendusta meneriakkan bahwa Muhammad telah terbunuh, sehingga pasukan muslimin bertambah lemah dan akhirnya menyerah dihadapan para musuh Allah.

Pada saat itu, hanya tersisa sedikit orang saja yang bersama Rasulullah Saw dan salah satunya adalah Abu Thalhah.

Abu Thalhah berdiri di depan Rasulullah Saw bagaikan gunung yang kokoh, dimana Rasulullah Saw berdiri melindungi diri dibelakang tubuhnya.

Lalu Abu Thalhah menggenggam erat busur panahnya. Kemudian ia meletakkan anak panah yang tidak pernah meleset. Ia lalu membela Rasulullah Saw mati-matian dengan mengarahkan kepada pasukan musyrikin satu demi satu.

Nabi Saw mengintip dari balik tubuh Abu Thalhah untuk melihat sasaran anak panahnya. Lalu Abu Thalhah berkata dengan nada khawatir kepada Beliau: “Demi, ayah dan ibuku, janganlah engkau memunculkan kepala kepada mereka sebab itu dapat membuatmu terkena panah mereka. Leherku akan menjadi pelindung lehermu. Dadaku akan menjadi tameng bagi dadamu. Aku akan berkorban untukmu…

Lalu ada seorang pria dari pasukan muslimin yang melintasi lari dihadapan Rasulullah Saw dan ia membawa sebuah kantung berisi anak panah. Maka Rasulullah memanggilnya dan berkata: “Hamburkan anak- anak panahmu dihadapan Abu Thalhah dan janganlah kau bawa lari!”

Abu Thalhah terus melindungi Rasulullah Saw sehingga ia telah mematahkan 3 buah busur panah. Ia telah berhasil dengan izin Allah membunuh beberapa orang dari pasukan musyrikin. Lalu, berakhirlah peperangan dan Allah berkenan menyelamatkan Nabi-Nya dengan perlindungan yang telah Ia berikan kepadanya.

Bila Abu Thalhah mampu berderma di jalan Allah pada saat-saat sulit, maka ia akan lebih dermawan lagi pada saat-saat lapang.
Yang membuktikan hal ini adalah bahwa dirinya memiliki sebuah kebun kurma dan anggur yang tidak ditemukan di kota Yatsrib kebun yang lebih besar pohonnya, lebih bagus buahnya dan lebih jernih airnya.

Saat Abu Thalhah sedang melakukan shalat dibawa daun-daun pohon yang lebat, perhatiannya tertarik dengan seekor burunng yang bernyanyi, berwarna hijau dan memiliki paruh berwarna merah. Kedua kakinya pun berwarna.

Burung tadi melompat-lompat di dahan pohon sambil bernyanyi dan menari. Abu Thalhah menjadi kagum dengan pemandangan ini,lalu mengiringi pemikirannya dengan bertasbih.

Tak lama kemudian, Abu Thalhah sadarkan diri. Ia dapati bahwa dirinya sudah tidak ingat lagi akan bilangan rakaat shalatnya? Apakah dua… tiga? Ia sendiri tidak tahu.

Begitu ia usai melaksanakan shalat, ia mendatangi Rasulullah Saw dan menyampaikan keluhan bahwa dirinya telah diperdaya oleh kebunnya sendiri,dengan pohon yang rindang dan burung yang berkicau, sehingga membuatnya lalai dari shalat.

Kemudian Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah Saw: “Saksikanlah, ya Rasulullah! Aku jadikan kebun ini sebagai sedekah di jalan Allah Swt. Gunakanlah sekehendak Allah dan Rasul-Nya!”

Abu Thalhah menjalani hidupnya dengan senantiasa berpuasa dan berjihad. Dan ia pun mati saat berpuasa dan berjihad.

Telah diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Abu Thalhah masih terus hidup sekitar 30 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw dengan terus berpuasa kecuali pada hari-hari besar dimana puasa diharamkan.

Ia terus hidup sehingga menjadi seorang tua-renta. Akan tetapi ketuaannya tidak menjadikan dirinya terhalang dari berjihad di jalan Allah Swt, dan mengarungi bumi untuk menegakkan kalimat Allah dan memuliakan agama-Nya.

Salah satunya adalah ketikan pasukan muslimin berniat untuk melakukan sebuah peperangan di lautan pada masa khalifah Utsman bin Affan.

Abu Thalhah bersiap-siap untuk berangkat bersama pasukan muslimin, namun anak-anaknya berkata: “Semoga Allah merahmatimu, wahai ayah kami. Engkau kini sudah amat tua. Engkau telah berjuang bersama Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Mengapa kini engkau tidak beristirahat saja dan membiarkan kami yang melakukan jihad?”
Abu Thalhah menjawab: “Allah Swt berfirman:

“Berangkatlah dalam kondisi ringan maupun berat.” (QS. At-Taubah [9] : 41)

Ia telah menyeru kita semua untuk berangkat… baik tua ataupun muda, dan ia tidak pernah memberikan batasan umur.”

Kemudian ia pergi ke luar untuk berangkat…

Saat Abu Thalhah yang sudah tua itu berada di atas kapal di tengah laut bersama pasukan muslimin yang lain, ia lalu jatuh sakit sehingga wafat.

Maka pasukan muslimin mencoba untuk mencari sebuah pulau untuk menguburkan jasad Abu Thalhah, akan tetapi mereka tidak menemukan satu pulau pun kecuali setelah 7 hari. Abu Thalhah selama masa itu ditutupi oleh mereka namun jasadnya tidak berubah sedikitpun seolah dia hanya tertidur saja.

Di tengah lautan, jauh dari keluarga dan rumah, disanalah Abu Thalhah dimakamkan.

Jauhnya ia dikuburkan dari manusia tidak akan menyebabkan kemudharatan bagi dirinya, selagi ia senantiasa dekat kepada Allah Swt.