Kata “Batasan” kerapkali diidentikkan pada hal-hal yang negatif dan dianggap mengganggu kreativitas seseorang. Khususnya di negara-negara yang memiliki paham liberal. Seperti contohnya adalah kasus pernikahan sejenis di Amerika. Kasus ini masih menjadi kontroversi. Sebagian orang sepakat untuk mengesahkannya di dalam hukum karena menghargai Hak Asasi Manusia, dan sebagian lagi menganggap ini merupakan batasan yang perlu dipikirkan oleh pemerintah.
Contoh lain batasan yang dianggap negatif oleh kaum Feminis adalah batasan pakaian. Kaum Feminis yang bergerak dalam bidang kesetaraan gender, seolah menilai bahwa batasan untuk wanita berarti tidak menghargai para wanita. Namun, apakah benar demikian adanya?
Sedangkan batasan yang dianggap positif adalah misalnya batasan kecepatan maksimum kendaraan di jalan raya, pembayaran pajak, dan lain sebagainya.
Lalu, bagaimana menentukan suatu permasalahan perlu batasan atau tidak?
Sesungguhnya, SEMUA permasalahan perlu batasan agar tidak melebihi etika dan norma atau kata lainnya adalah kebablasan. Karena pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan nafsu, serta manusia merupakan insan yang egois. Lalu, siapakah yang menentukan batasan?
Dzat yang menentukan batasan adalah Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta. Allah telah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW yang diperantarai oleh Malaikan Jibril.
Allah memberikan lima hukum dalam Islam, Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Allah menentukan hukum-hukum tersebut untuk memberi batasan kepada manusia atas apa yang harus dikerjakan, yang harus ditinggalkan, yang sebaiknya dikerjakan, yang sebaiknya ditinggalkan, dan yang boleh dikerjakan. Agar apa? Agar manusia tidak berantakan.