Bahkan ada seorang dari suku Anshar yang mencomoohku dan berkata: “Wahai musuh Allah, engkau adalah orang yang pernah menyiksa Muhammad dan para sahabatnya. Engkau sudah memusuhi Nabi dari timur hingga barat dunia…
Orang Anshar tadi terus menerus mencercaku dan melakukannya dengan suara keras sehingga kaum muslimin memandangku dengan sinis, dan senang dengan apa yang aku rasakan.
Pada saat itu, lalu aku mendapati pamanku Abbas, dan aku berlindung kepadanya. Aku berkata: “Wahai paman, aku tadinya berharap bahwa Rasulullah Saw akan senang dengan keislamanku karena aku adalah kerabatnya dan karena aku orang terkemuka di kaumku. Engkau sudah tahu apa sikap Beliau terhadapku. Tolonglah, engkau berbicara kepada Beliau, agar Beliau ridha kepadaku!”
Lalu pamanku berkata: “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan berbicara kepadanya tentangmu meski satu kata setelah aku melihat Beliau telah berpaling dari dirimu, kecuali bila ada kesempatan untuk melakukannya maka aku akan menghadap Beliau Saw.”
Aku lalu bertanya: “Wahai paman, lalu kepada siapa engkau hendak menyerahkanku?!”
Beliau menjawab: “Aku tidak bisa memberikan apa-apa untukmu selain apa yang telah kau baru saja dengar!”
Aku serta-merta menjadi panik dan sedih. Tidak lama setelah itu, aku melihat sepupuku Ali bin Abi Thalib dan akupun mengadukan permasalahanku kepadanya. Iapun mengatakan hal yang sama sebagaimana yang telah dikatakan pamanku Abbas.
Pada saat itu, aku kembali kepada pamanku Abbas dan berkata: “Wahai paman, jika engkau tidak mampu untuk membujuk Rasulullah Saw untuk diriku, maka dapatkan engkau menghentikan orang yang terus-menerus mencerca dan menghinaku serta mengajak orang untuk melakukan hal yang sama!” Abbas berkata: “Tunjukkan ciri-cirinya!” Aku pun menunjukkannya. Abbas berkata: “Dia adalah Nu’aiman bin Al Harits An Najari.” Ia pun menemui Nu’aiman dan berkata: “Wahai Nu’aiman, Abu Sufyan adalah sepupu Rasulullah Saw dan keponakanku. Meskipun hari ini Rasulullah Saw benci terhadapnya, namun Beliau suatu hari akan ridha kepadanya. Maka hentikanlah cacianmu terhadapnya!”
Abbas terus membujuknya sehingga Nu’aiman rela untuk menghentikan caciannya kepadaku. Dan akhirnya ia berkata: “Setelah ini, aku tidak akan menyerangnya lagi.
Begitu Rasulullah Saw singgah di Juhfah, aku pun duduk di depan pintu rumahnya. Aku disertai putraku Ja’far yangberdiri. Saat Beliau melihatku –ketika Beliau keluar dari rumah- Beliau memalingkan wajahnya dariku. Namun aku tidak berputus asa untuk membuat Beliau ridha kepadaku. Aku berusaha agar dapat bisa duduk di depan pintu rumahnya di setiap tempat dimana Beliau singgah. Dan aku menyuruh Ja’far berdiri di sampingku. Setiap kali Rasulullah Saw melihatku, ia langsung berpaling dariku.
Aku terus menerus melakukan hal itu dalam masa yang lama. Begitu aku sudah tidak sanggup lagi, aku berkata kepada istriku: “Demi Allah Rasulullah Saw akan ridha kepada ku, atau aku akan mengajak anakku ini untuk berjalan di muka bumi sehingga kami mati kelaparan atau kehausan. Saat hal itu terdengar oleh Rasulullah Saw pasti ia akan kasihan kepadaku…” Saat Rasulullah Saw keluar dari kubahnya, Beliau memandangku dengan pandangan yang lebih lembut dari sebelumnya, aku berharap Beliau akan tersenyum.
Kemudian Rasulullah Saw masuk ke Mekkah dan aku berada dalam rombongannya. Beliau kemudian menuju Masjidil Haram, dan aku pun berlari di hadapannya agar tidak tertinggal.
Pada peristiwa Hunainin, bangsa Arab berkumpul dengan jumlah pasukan yang amat besar untuk memerangi Rasulullah Saw dan belum pernah mereka sedemikian banyaknya. Mereka mempersiapkan persenjataan yang belum pernah selengkap saat itu. Mereka bertekad untuk mengalahkan Islam dan kaum muslimin.
Rasulullah Saw lalu berangkat dengan serombongan para sahabatnya, dan akupun ikut serta dalam rombongan itu. Saat aku melihat pasukan musyrikin yang sedemikian banyaknya, aku berkata: “Demi Allah, aku akan menebus segala kesalahanku dalam memusuhi Rasulullah Saw, dan Beliau pasti akan melihat perjuanganku yang akan membuat Allah dan Beliau ridha.”
Saat kedua pasukan bertemu, kaum musyrikin sepertinya unggul terhadap pasukan muslimin. Maka merasuklah rasa khawatir dan putus asa pada pasukan muslimin. Banyak orang yang berpisah dari komando Rasulullah Saw. Hampir saja kami mengalami kekalahan telak.
Lalu tiba-tiba Rasulullah Saw tetap tegar di tengah medan laga di atas bighalnya seolah gunung kokoh. Dengan pedang di tangan, ia mempertahankan dirinya dan orang yang ada di sekelilingnya seperti singa yang menerkam.
Pada saat itu, aku melompat dari kudaku. Aku pecahkan sarung pedang dan Allah Swt mengetahui bahwa aku rela mati demi Rasulullah Saw. Pamanku Abbas menarik tali bighal Nabi Saw dan berdiri di sampingnya. Dan aku berdiri di sisi sebelahnya. Di tangan kananku terdapat pedang untuk melindungi Rasulullah Saw. Sedangkan tangan kiriku memegang hewan tunggangan Beliau.